Hak-hak Sesama Muslim

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  “حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ: إذَا لَقِيْتــَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاك فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَك  فَانْصَحْهُ،  وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ، وَ إِذاَ  مَرِضَ  فَعُدْهُ، وَإِذاَ  ماَتَ فاتـْبَعْهُ”   رَواهُ مُسلم

Terjemah Hadis:

Dari Abu Hurairah t ia berkata: Rasulullah r bersabda:
“Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam, yaitu: 
(1) jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam, 
(2) jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, 
(3) jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat, 
(4) jika ia bersin dan mengucapkan: ‘Alhamdulillah’ maka do’akanlah ia dengan Yarhamukallah (artinya = mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepadamu), 
(5) jika ia sakit maka jenguklah dan 
(6) jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya”.
(HR. Muslim, no. 2162).

Dalam riwayat yang lain, disebutkan dengan lafadz ” فَشمته” sebagai ganti dari “فَسَمِّتْهُ”. Menggunakan huruf syiin sebagai pengganti siin.

Redaksi Hadis:

Hadis ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dengan menyebutkan 5 hak muslim terhadap muslim lainnya. Lafalnya sebagai berikut:

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga disebutkan dengan lafadz, 5 kewajiban:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ

“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: (1) Menjawab salam, (2) menjenguk orang sakit, (3) mengantar jenazah, (4) memenuhi undangan, dan (5) mendoakan yang bersin.” (HR. Bukhari, no. 1240, dan Muslim no. 2162)

Di tempat lain di Shahih Muslim, diriwayatkan juga dengan redaksi yang sedikit berbeda:

خَمْسٌ تَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ: رَدُّ السَّلَامِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ

الْجَنَائِزِ

“Lima perkara yang wajib ditunaikan seorang muslim terhadap saudaranya yang muslim: (1) Menjawab salam, (2) mendoakan yang bersin, (3) memenuhi undangan, (4) menjenguk orang sakit, dan (5) mengantar jenazah.” (HR. Muslim, no. 2162).

Jadi riwayat yang menyebutkan 5 hak muslim terhadap muslim yang lain, terdapat di Shahih Bukhari dan Muslim. Sedangkan yang menyebutkan 6 hak, hanya terdapat di Shahih Muslim saja.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh beberapa imam penyusun kitab hadis seperti Imam Ahmad dan Imam Baihaqi. Tapi kita cukupkan dengan Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Hadis pertama yang terdapat dalam Kitab Al Jaami’ di Bulughul Maram, menyebutkan 6 hak muslim terhadap muslim lainnya. Sedangkan di Riyadhush Shalihin, kedua hadis ini (yang menyebutkan 5 dan 6 hak) disebutkan kedua-duanya.

Kedudukan Hadis:

Agama Islam adalah agama yang sangat menekankan terwujudnya persaudaraan dan kasih sayang. Agama Islam selalu mendorong pemeluknya untuk mewujudkan dan memelihara persaudaraan dan kasih sayang. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan beberapa amalan yang dapat mewujudkan persaudaraan dan kasih sayang tersebut.

Hadis ini menjelaskan hal-hal yang dapat meneguhkan persaudaraan dan kasih sayang. Yaitu dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban sosial terhadap sesama muslim. Dalam hadis ini, diungkapkan dengan hak muslim atas muslim yang lain. Dalam bahasa Arab, ungkapan ini bisa bermakna wajib dan juga bisa bermakna sunnah yang sangat dianjurkan. Karena hak artinya sesuatu yang tidak sepantasnya ditinggalkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul ‘Arabi.  (Subulus Salaam 4/148).

Berikut ini, keenam hak-hak yang disebutkan dalam hadits tersebut:

  1. Menebarkan salam.

Perbuatan ini termasuk dalam perilaku yang akan semakin mempererat kecintaan kita terhadap sesama muslim, sebagaimana yang telah juga disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam,

 “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Ketahuilah, maukah kalian aku tunjukkan pada sebuah amalan yang jika kalian mengerjakannya, kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian” (HR. Muslim, no. 54).

Para ulama sepakat bahwa mengawali mengucapkan salam hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Adapun menjawab salam, maka hukumnya adalah wajib. (Tafsir al Qurthubi 5/297-304, Fathul Baari 11/2, 12-14, Ashalul Madaarik 3/351-353 dan Syarhul Minhaaj 4/215).

Jika yang diberi salam itu jamaah (beberapa orang), maka hukumnya fardlu kifayah. Maka jika sudah ada salah satu yang menjawab, kewajiban ini gugur dari yang lain. Jika semuanya ikut menjawab maka semuanya turut melaksanakan kewajiaban ini, baik menjawab salamnya ini dilaksanakan bersama-sama atau bergantian. Jika semuanya tidak mau menjawab salam, maka semuanya berdosa. (Al Mawsu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, 11/314).

Mengucapkan salam disini dilakukan dengan menggunakan salam yang kita kenal dalam Islam, yaitu “Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh” (atau cukup dengan “Assalamu’alaikum”) bukan dengan selamat pagi, selamat siang atau selamat sore. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa menjawab ucapan selamat selain dengan ucapan salam itu tidak wajib. Baik ungkapan selamat tersebut disampaikan secara lisan, dengan isyarat jari, telapak tangan atau kepala. (Raudlatuth Thaalibin 10/233, Mughnil Muhtaaj 4/214, Nihayatul Muhtaaj 8/48, al Inshaaf 4/233 dan al Adzkaar Imam Nawawi 234).

Lafal salam yang sempurna adalah “Assalaamu’alaikum” atau Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Dengan menggunakan bentuk isim ma’rifat “Assalaaamu” bukan Salaamun. Juga menggunakan bentuk jamak “’alaikum”. Baik yang diberi salam itu satu orang atau jamaah beberapa orang. Inilah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para salaf shaleh. Meskipun menggunakan ungkapan “Salaamun ’alaikum” juga boleh tetapi “Assalaamu’alaikum” lebih utama.  (Al Mawsu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, 25/157-158).

Menjawab ucapan salam bukan dengan Wa’alaikumussalaam, menurut kebanyakan  ulama, tidak menggugurkan kewajiban. Karena Allah Ta’aala telah berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (penghormatan itu yang sepadan) dengannya.” (QS. An Nisaa’: 86)

Dalam ayat tersebut jelas ditegaskan keharusan menjawab dengan yang sama atau sepadan. Jadi tidak cukup dengan jawaban lain selain salam. (Al Fawaakih ad Dawaani 2/423, Al Jumal ‘Ala Syarhil Minhaaj 5/188 dan Tafsir Ibnu Katsir 2/351)

Dalam al Mawsu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah dijelaskan tentang salam kepada lawan jenis, yang ringkasnya dapat disimpulkan sebagai berikut: Ucapan salam sesama wanita dianjurkan sebagaimana ucapan salam sesama laki-laki. Demikian pula menjawab salam sesama wanita hukumnya sama dengan menjawab salam sesama laki-laki. Sedangkan memberi salam dari laki-laki kepada wanita, maka bisa dibagi menjadi 2 keadaan:

  1. Jika wanita tersebut adalah istri, ibu atau mahram lainnya, maka hukumnya sunnah dan fihak wanita wajib menjawab salam tersebut.  Bahkan seorang laki-laki dianjurkan memberi salam kepada keluarga dan penghuni rumahnya.
  2. Jika wanita tersebut bukan mahramnya, maka ada dua kemungkinan:

1)      Jika wanita tersebut sudah berusia lanjut, maka memberi salam tersebut hukumnya sunnah dan wanita tersebut berkewajiban menjawab salam.

2)      Jika wanita tersebut masih muda dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah baik bagi fihak laki-laki atau fihak wanita, maka ada 2 pendapat di kalangan ulama:

  1. a)      Makruh menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah.
  2. b)      Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa menjawab salamnya cukup di dalam hati. Jika ada seorang wanita memberi salam kepada laki-laki, maka dijawab di dalam hati. Demikian pula sebaliknya. Jika yang memberi salam adalah laki-laki, maka fihak wanita menjawab di dalam hati. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengharamkan menjawab salam kepada laki-laki.

Sedangkan salamnya seorang laki-laki kepada kaum wanita dalam jumlah banyak, dibolehkan. Demikian pula salamnya beberapa laki-laki kepada satu orang wanita juga dibolehkan jika aman dari fitnah. Dalil yang menjadi dasar bolehnya seorang laki-laki member salam kepada kaum wanita dalam jumlah banyak, adalah hadits Asma binti Yazid radliyallahu ‘anha, beliau berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melewati beberapa wanita kemudian beliau member salam kepada kami.” (HR Abu Daud 5/383 dan Tirmidzi 5/58 dan Ibnu Majah, no 3701. Imam Tirmidzi menghasankan hadits ini).

Dalam Shahih Bukhari, Imam Bukhari membuat judul bab: Taslim al-Rijaal ‘alaal-Nisaa’ wa al-Nisaa’ ‘ala al-Rijaal (Bab salamnya kaum laki-laki kepada kaum wanita dan kaum wanita kepada kaum laki-laki). Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Baari (11/33) mengomentari bab tersebut dengan mengatakan: “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dalam bab ini pada bantahan riwayat yang dikeluarkan oleh Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Yahya bin Abi Katsir yang berisi makruhnya kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita dan sebaliknya. Riawayat ini statusnya maqthu’ (riwayatnya berhenti sampai pada tabi’in) dan mu’dhal. Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa maksud dari bolehnya ini (kaum lelaki mengucapkan salam kepada kaum wanita dan sebaliknya) ketika aman dari fitnah. Ibnul Hajar rahimahullah juga menukil ucapan Ibnu Bathal dari al-Muhallab, “Salamnya kaum lelaki kepada kaum wanita (bukan mahram) dan kaum wanita kepada kaum lelaki hukumnya boleh, apabila aman dari fitnah.”

  1. Memenuhi undangan.

Memenuhi undangan sesama kaum muslimin sangat dianjurkan. Baik undangan pernikahan atau undangan kegiatan mubah lainnya.

Allah Subahaanahu Wa Ta’aalaa telah berfirman:

“Tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu” (QS. Al Ahzaab: 53).

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 3740), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ

“Bila salah seorang diantara kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Baik undangan tersebut berupa walimah urs (resepsi pernikahan) atau yang sejenisnya.”

Dalam lafadz yang lain di Shahih Bukhari (No. 5174) dan Muslim (No. 1429) disebutkan,

“Apabila salah seorang diantara kalian diundang untuk menghadiri walimatul urs (resepsi pernikahan), maka hendaklah ia menghadirinya.”

Sedangkan  hadits yang berisi ancaman bahwa yang tidak menghadiri undangan telah durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya, adalah hadits dla’if (lemah) yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (No. 3743), yang redaksinya:

“Siapa yang diundang kemudian tidak memenuhinya, maka sungguh ia telah duhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya.”

Menghadiri walimatul ‘urs hukumnya wajib ain (fardlu ‘ain) bagi setiap yang diundang. (Jawaahir al Ikliil 1/325, Mughnil Muhtaaj 3/244,  al Mughni karya Ibnu Qudamah 7/1, Syarhus Sunnah karya Imam al Baghawi 9/132 dan Subulus Salaam 3/325).

Untuk udangan selain walimah, maka hukum menghadirinya sunnah. Tidak wajib. (Al Mughni 7/11, Hasyiyah al Qolyuubi 3/295, Al Fataawa al Hindiyah,5/343, Asy Syarh al Kabiir ma’a Haasyiyah ad Dasuuqiy 2/337).

Jika undangan tersebut berasal dari orang yang secara terang-terangan melakukan perbuatan fasik, maka ulama hanafiyah menegaskan bahwa undangan tersebut tidak dipenuhi. Supaya yang bersangkutan tahu bahwa yang diundang tidak rela dengan perbuatan fasiknya. Demikian pula undangan dari orang yang mayoritas hartanya berasal dari sumber haram. Kecuali jika yang bersangkutan tidak memberitahukan bahwa hartanya bersumber dari penghasilan yang halal. (Al Fataawa al Hindiyah,5/343).

Diantara hikmahnya adalah dapat menyenangkan hati yang mengundang. Namun apabila dalam acara undangan tersebut terdapat hal-hal yang melanggar ketentuan syariat dan kita tidak bisa mengubahnya, maka kita tidak berkewajiban untuk mendatanginya.

  1. Memberikan Nasehat

Kita wajib memberikan nasihat yang baik kepada saudara kita bila yang bersangkutan memintanya. Tidak boleh mempermainkan mereka saat mereka membutuhkan nasehat, apalagi membohongi karena hal itu termasuk pengkhianatan baginya.
Dalam hadits di Shahih Bukhari (No. 57) dan Muslim (No. 45) dari Hadis Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan:

“Saya telah membai’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassallam untuk tetap menegakkan shalat, mengeluarkan zakat dan memberi nasehat kepada setiap muslim.”

Sahabat Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassallam bersabda:

لاَ يُؤمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأخِيهِ مَا يُحِبُّ لنَفْسِهِ

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45).

Imam al Khaththabi menjelaskan bahwa nasehat artinya menginginkan kebaikan untuk orang yang diberi nasehat. (Syarh Syifa, 3/602).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassallam menegaskan pentingnya nasehat ini dalam sabdaNya:

“Agama itu adalah nasehat”. Kami tanyakan: “Kepada siapa, wahai Rasulullah?” Beliau jawab: “Kepada Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan khalayak kaum muslimin.” (HR. Muslim, no. 55 dari shahabat Tamim ad Daari radliyallahu ‘anhu).
Imam Bukhari membuat judul bab di akhir kitab Iman dalam shahih Bukhari karena pentingnya hadis ini dan menjadi inti ajaran Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al ‘Aini dalam bukunya ‘Umdatul Qoori (2/358).
Maksud dari memberi nasehat kepada khalayak kaum muslimin adalah memberikan arahan pada kemaslahatan dunia dan akhirat mereka, menolong mereka, menutup aib (kejelekan) mereka, menolak mudarat yang bisa menimpa mereka, memberi manfaat bagi mereka, mengajak mereka berbuat sayang dan ikhlas, menghormati yang tua di kalangan mereka, berlaku lemah lembut dengan yang lebih muda, menasehati mereka, tidak menipu dan berlaku hasad kepada mereka, mencintai mereka seperti mencintai dirinya sendiri, membenci semua yang mereka benci jika terjadi pada dirinya. (Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi 1/397, Fathul Baari 1/138, Asy Syarhush Shaghiir 4/742, Tawdliihul Ahkaam, 7/284 dan Dalilul Faalihiin lithuruqi Riyadlish Shaalihiin 1/459).
Memberi nasehat itu hukumnya fardu kifayah. Jika sudah ada yang mengerjakan dalam kadar yang cukup maka kewajiban tersebut gugur bagi yang lain. Memberi nasehat harus dikerjakan sesuai kadar kemampuan seseorang. (Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi 1/399, Subulus Salaam 4/211 dan Tawdliihul Ahkaam, 7/284).
4. Mendoakan Ketika Bersin Lalu Mengucapkan Hamdalah

Yaitu dengan mengucapkan “yarhamukallahu” setelah saudara kita bersin dan mengucapkan hamdalah (alhamdulillah). Ia pun juga disyariatkan ketika mendengar ada yang mendoakannya untuk membalas dengan doa, “yahdikumullah wa yushlihu baalakum”.
Tata cara tersebut dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wassallam:

“Apabila salah seorang di antara kalian bersin, maka ucapkanlah “alhamdulillah”, dan hendaknya saudaranya mengucapkan untuknya “yarhamukallaah”. Apabila ia mengucapkan kepadanya “yarhamukallaah”, hendaklah ia (orang yang bersin) mengucapkan “yahdii kumullaah wa yushlihu baalakum”. (artinya: Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk dan memperbaiki hatimu).”(HR. Bukhari 6224).
Penjelasan lebih lanjut hadis ini, insya Allah akan dibahas dalam hadis ke 10 pada kitabul Jaami’ dari Bulughul Maraam ini.
5. Menjenguk Orang Sakit
Ada beberapa hadits yang menunjukkan keutamaan menjenguk orang yang sakit, antara lain:
a. Dari Tsauban radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang menjenguk orang sakit, ia berada dalam kebun surga sampai ia kembali.” (HR. Muslim, no. 2568).

  1. Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah seorang muslim yang menjenguk muslim lainnya di pagi hari kecuali ada 70 ribu malaikat yang mendoakannya hingga sore hari. Dan jika menjenguknya di sore hari, ada 70 ribu malaikat yang mendoakannya hingga pagi, dan baginya satu kebun di surga.” (HR. Tirmidzi, no. 969. Beliau mengatakan hadits ini hasan gharib).
c. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa yang menjenguk orang sakit, maka ada yang menyeru dari langit: “Mudah-mudahan kehidupanmua menjadi baik, langkahmu juga baik dan engkau berhak menempati satu tempat di surga.”(HR. Tirmidzi no. 2008, Ibnu Majah no. 1443. Ibnu Hibban menshahihkannya sebagaimana yang disebutkan Ibnul Hajar dalam Fathul Baari. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibnu Majah).
d. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,

“Siapa yang menjenguk orang sakit, ia terus dalam naungan rahmat sehingga duduk. Maka apabila ia duduk, ia tenggelam ke dalamnya.” (HR. Ahmad 3/304. Dishahihkan Al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah, no. 2504)
e. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa di antara kalian yang berpuasa di pagi ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya, “Siapa di antara kalian yang sudah menjenguk orang sakit hari ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang telah menghadiri jenazah di pagi ini?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang telah memberi makan orang miskin di pagi ini? Abu Bakar menjawab, “Saya”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah semua ini terkumpul dalam diri seseorang kecuali pasti ia masuk surga.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah, no. 88)
Dalam Shahih Bukhari (5743) dan Muslim (2191), dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha, Nabi SAW pernah menjenguk salah seorang keluarganya. Beliau mengusap bagian tubuh dari orang yang sakit dengan tangan kanannya, seraya berdoa:

“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah penderitaannya, sembuhkanlah ia karena sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan yang berasal dari-Mu. Kesembuhan yang tidak lagi meninggalkan penyakit.”
Dalam riwayat lain dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, di Shahih Bukhari (5742), diriwayatkan dengan lafal yang sedikit berbeda:

“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, Yang Menghilangkan penderitaan, sembuhkanlah ia karena sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada yagn menyembuhkan melainkan Engkau. Kesembuhan yang tidak lagi meninggalkan penyakit.”

Banyak hikmah yang terdapat dalam ibadah ini, antara lain adalah, akan menguatkan tali persaudaraan dan menguatkan perasaannya dan membuatnya begitu berarti di mata saudara-saudaranya.
Nabi SAW tidak hanya menganjurkan kaum muslimin untuk menjenguk orang sakit. Beliau sendiri memberi teladan langsung. Beliau menjenguk orang sakit, menghiburnya, mendoakannya, dan meringankan beban-bebannya. Shahabat Utsman bin ‘Affan Radhiyallaahu ‘Anhu berkata: “Demi Allah, sungguh kami sering menemani Rasulullah SAW dalam safar maupun muqim. Beliau menjenguk yang sakit di antara kami, mengantarkan jenazah orang yang meninggal diantara kami, berperang bersama kami dan membantu kami dengan yang sedikit dan banyak.” (HR. Ahmad)
Banyak riwayat yang menunjukkan Nabi SAW menjenguk sebagian sahabatnya yang sakit. Dalam Shahih Bukhari, beliau pernah menjenguk seorang anak Yahudi yang masih kecil, lalu mengajaknya masuk Islam sehingga ia menjadi seorang Muslim.

  1. Mengiringi Jenazahnya

Mengiringi jenazah hukumnya sunnah. (ad Dur al Muhtaar 1/833, asy Syarh al Kabiir 1/418, al Muhadzdzab 1/136, Mughnil Muhtaaj 1/367, al Majmu’ 5/286 dan al Mughni 2/473).

Hal ini berdasarkan hadits al Baraa’ bin ‘Azib radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata:

“Rasulullah SAW memerintahkan kami dengan tujuh hal dan melarang kami dari tujuh perkara. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah.. (HR. Bukhari, no. 1239 dan Muslim, no. 2066).
Dalam Shahih Bukhari (1325) dan Muslim (945), dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW menjelaskan keutamaan mengiringi jenazah:
“Siapa yang menghadiri jenazah hingga jenazah tersebut dishalatkan maka baginya pahal satu qirath. Siapa yang menghadirinya sampai proses pemakaman, maka baginya dua qirath”. Kemudian ditanyakan: “Apakah yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab: “Seperti dua gunung besar.”
Dalam riwayat di Shahih Muslim (2/653) disebutkan: sampai jenazah diletakkan di liang lahat.
Menurut riwayat Bukhari (47) pula dari hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu:
“Barangsiapa mengikuti jenazah seorang muslim karena iman dan mengharapkan pahala, ia bersamanya sampai disholatkan dan selesai pemakamannya, maka sesungguhnya ia pulang dengan dua qirath, tiap qirath seperti gunung Uhud. Siapa yang menyalatkan kemudian pulang sebelum dimakamkan maka sesungguhnya ia pulang dengan satu qirath.” Wallahu A’lam.

[contact-form][contact-field label=’Nama’ type=’name’ required=’1’/][contact-field label=’Surel’ type=’email’ required=’1’/][contact-field label=’Situs web’ type=’url’/][contact-field label=’Pesan’ type=’textarea’/][/contact-form]