Haramnya Memakan Riba

Riba berarti ziyadah (tambahan). Maksudnya tambahan atas modal, sedikit maupun banyak, sebagaimana dsebutkan didalam firman Allah swt :

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] : 279)

Riba ini diharamkan oleh semua agama , karena dianggap sesuatu yang membahayakan. Menurut agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Bahkan islam memandangnya sebagai salah satu dosa besar yang dapat membinasakan seseorang.

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu’min yang suci berbuat zina”

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya.” Dia berkata, “Mereka semua sama.”

Pemilik kitab “Aunul Ma’bud” mengatakan bahwa makna ‘pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun dirinya tidak memakannya. Sesungguhnya pengkhususan dengan kata-kata makan karena ia adalah jenis pemanfaatan yang paling besar.

 

Adapun makna orang yang menyuruh makan riba adalah yang orang yang memberikannya kepada orang yang mengambilnya. Sedangkan makna saksi dan penulis riba, menurut Imam Nawawi bahwa didalamnya terdapat ketegasan pengharaman penulisan antara dua orang yang bertransaksi riba dan penyaksian terhadap keduanya dan juga pengharaman terhadap pertolongan atau bantuan kepada kebatilan. (Aunul Ma’bud juz VII hal 2893)

Riba ini ada dua macam :

  1. Riba Nasi’ah yaitu pertambahan bersyarat yang diterima oleh pemberi utang dari orang dari orang yang berutang karena penangguhan atas pembayaran. Jenis riba ini diharamkan menurut al Qur’an, Sunnah dan Ijma ulama.
  2. Riba Fadhal yaitu jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan yang disertai tambahan. Jenis ini diharamkan karena termasuk perantara riba nasi’ah.

Imam Bukhori meriwayatkan dari Umar bin Khattab mengabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jual beli emas dengan emas adalah riba’ kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), beras dengan beras adalah riba’ kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), kurma dengan kurma adalah riba’ kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), gandum dengan gandum adalah riba’ kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan) “.

Terhadap orang yang melakukan praktek-praktek riba diatas maka diwajibkan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah swt dan menghentikan segala bentuk yang termasuk didalam praktek ribawi. Diantara keharusan seorang yang bertaubat dari perbuatan riba adalah mencukupkan dirinya dengan modal pokok hartanya saja dan tidak mengambil tambahan (riba) darinya, sebagaimana disebutkan didalam firman Allah swt :

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] : 276)

Begitu juga terhadap seorang pekerja yang mendapatkan gaji dari riba atau bekerja di Bank Konvensional maka hendaklah dirinya mencari pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal. Akan tetapi jika dirinya melihat bahwa bekerja di tempat itu adalah sesuatu yang darurat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarganya maka dibolehkan baginya menerima gaji itu dengan hati yang tidak rela sambil tetap berusaha mencari alternatif pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal.

Syeikh Yusuf al Qaradhawi di dalam bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” ketika ditanya tentang hukum bekerja di Bank Konvensional, beliau menjawab,”Jangan pula dilupakan adanya kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah sampai tingkat darurat. Kondisi inilah yang menjadikan saudara penanya untuk menerima —tetap bekerja di bank— sebagai sarana mencari kehidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah swt :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya : “…..tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2] : 173)

Wallahu A’lam