Mengapa Kita Wajib Belajar Ilmu Mawaris?

 

Kalau kita harus membereskan masalah aqidah terlebih dahulu, tentu saja saya setuju. Sebab masalah aqidah adalah masalah yang urgen sebagai dasar keimanan kita. Namun aqidah yang saya pahami adalah sebagaimana yang Rasulullah SAW ajarkan kepada para shahabat, yaitu kita beriman kepada Allah SWT, bahwa tidak ada tuhan selain Dia. Dan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan Allah.

Sedangkan detail-detail perdebatan para ahli kalam di dalam urusan detail-detail masalah tema aqidah, saya memandang hal itu bukan sesuatu yang terlalu urgen untuk diperdebatkan, apalagi sampai kepada sebagai bentuk perselisihan.

Sementara di sisi lain, ada begitu banyak masalah hukum syariah yang kita lalaikan, baik yang terkait dengan urusan ubudiyah atau pun masalah muamalah. Dan salah satu tema yang seringkali luput dari perhatian kita adalah masalah hukum waris atau faraidh.

Padahal ada begitu banyak alasan yang syar’i yang mengharuskan kita belajar dan juga mengajarkan ilmu mawaris ini. Dan karena mempraktekkannya menjadi kewajiban, maka belajar dan mengajarkannya pun juga wajib hukumnya.

Di antara alasan kenapa kita harus belajar ilmu mawaris adalah :

1. Ancaman Kekal di Neraka

Allah SWT telah menurunkan ketentuan-Nya serta mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan ketentuan itu. Dan bagi mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, padahal dia sadar dan tahu tentang hukum yang Allah tentukan, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka.

Tidak cukup hanya masuk neraka, bahkan hukuman buat para penentang adalah bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka.

Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan. Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem.

وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya (hukum waris), niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa’ 14)

Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka.

Al-Imam Al-Qurtubi di dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran menyebutkan bahwa ada dua macam maksiat. Maksiat pertama adalah maksiat yang tidak berdampak kepada kekafiran, dan maksiat kedua adalah maksiat yang berdampak kepada kekafiran dari pelakunya. Dan menentang ketentuan Allah dalam hukum mawaris ini termasuk jenis yang kedua, yaitu yang berakibat kepada kekafiran. Sebab yang berada abadi di dalam neraka hanya orang-orang yang kafir saja.

Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang menghinakan.

Sungguh berat ancaman yang Allah SWT tetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua.

Kalau kita perhatikan secara seksama, salah satu perbedaan siksa antara seorang muslim dengan seorang kafir di hari akhir nanti adalah masalah keabadian di dalam neraka. Orang kafir nanti akan masuk neraka kekal di dalamnya. Sedangkan orang Islam yang masuk neraka, apabila siksanya di neraka sudah dianggap cukup menebus dosa-dosanya, ada kemungkinan dia akan diangkat dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.

Namun ternyata, ayat ini malah menunjukkan anomali. Seorang seorang muslim yang tidak mau menjalankan aturan hukum waris, diancam akan kekal di dalam neraka. Ini siksaan khas buat orang kafir, padahal secara hukum, pelakunya masih tetap dianggap muslim. Kalau dia meninggal, kita tetap memperlakukan secara Islam. Dia tetap kita mandikan, kafani, shalatkan dan kita kuburkan di lokasi pekuburan milik umat Islam.

Artinya, secara hukum kita tidak memposisikan orang yang menentang hukum Allah ini sebagai orang kafir. Akan tetapi, di akhirat nanti, ternyata hukumannya mirip dengan hukuman buat orang kafir, yaitu kekal di dalam neraka selama-lamanya. Sungguh ancaman Allah SWT ini sangat merisaukan hati kita.

Maka cukup ayat ini sudah menjadi dasar motivasi kita belajar ilmu faraidh. Sebab kita tidak mau mendekam selamanya di dalam neraka, cuma karena urusan sepele.

  1. Perintah Khusus Dari Rasulullah SAW

Walaupun shalat 5 waktu hukumnya wajib dan menjadi rukun iman, namun kita belum pernah mendengar hadits Nabi SAW yang intinya memerintahkan kita mempelajari ilmu tentang shalat. Demikian juga, walaupun puasa Ramadhan, membayar zakat dan juga pergi haji ke tanah suci hukumnya wajib dan menjadi bagian dari rukun Islam, namun ayat atau hadits yang memerintahkan kita untuk mempelajarinya secara khusus tidak pernah kita dapati.

Berbeda halnya dengan masalah faraidh ini, ternyata Rasulullah SAW secara khusus telah memberikan perintah khusus untuk mempelajarinya dan sekalian juga beliau mewajibkan kita untuk mengajarkannya.

Dalilnya sebagai berikut :

عَنِ الأَعْرَجِ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ العِلْمِ وَإِنَّهُ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ مَا يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي

Dari A’raj radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah. Karena dia setengah dari ilmu dan dilupakan orang. Dan dia adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku”. (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Karena mengajarkan itu tidak mungkin dilakukan kecuali setelah kita mengerti, maka hukum mempelajarinya harus didahulukan.

Seandainya seseorang sudah belajar ilmu ini dan sudah memahaminya, namun dia tidak mampu untuk mengajarkannya kepada orang-orang, maka minimal dia wajib mengajarkannya kepada keluarganya. Setidaknya seorang suami wajib mengajarkan ilmu ini kepada anak dan istrinya. Dan seorang istri wajib mengajarkan ilmu ini kepada suami dan anak-anaknya.

  1. Dicabutnya Ilmu Waris

Salah satu alasan kenapa kita wajib mempelajari dan kemudian mengajarkan ilmu mawaris ini, karena Rasulullah SAW menyebutkan bahwa diantara ajaran agama Islam yang akan dicabut pertama kali adalah ilmu tentang mawaris ini.

Sehingga umatnya, meski mengaku beragama Islam, bahkan boleh jadi setiap tahun bolak-balik pergi haji ke tanah suci, namun ketika orang tuanya wafat, tidak menggunakan hukum yang telah Allah SWT tetapkan dalam pembagian waris.

Hal itu terjadi bukan karena hanya mereka enggan melakukannya, tetapi ironisnya karena nyaris tidak ada lagi orang yang bisa membagi harta warisan, karena ilmunya telah diangkat. Dan mereka tidak menemukan orang yang mampu menghitung harta warisan, sehingga mereka membaginya dengan cara-cara yang dimurkai Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ  تَعَلَّمُوا القُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ فَإِنِّي امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَإِنَّ العِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ الفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ فيِ الفَرِيْضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِي بِهَا – رواه الحاكم

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkan kepada orang-orang. Karena Aku hanya manusia yang akan meninggal. Dan ilmu waris akan dicabut lalu fitnah menyebar, sampai-sampai ada dua orang yang berseteru dalam masalah warisan namun tidak menemukan orang yang bisa menjawabnya”. (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Hadits ini juga menjadi landasan yang menganjurkan agar kita menghidupkan pengajian atau pelatihan yang secara khusus membahas dan mengajarkan ilmu faraidh. Termasuk juga menjadi dasar dari disunnahkannya menyebarkan buku dan media pengajarannya.

Hadits di atas juga menegaskan alasan lain mengapa kita wajib belajar ilmu faraidh, yaitu karena ilmu waris itu setengah dari semua cabang ilmu. Lagi pula Rasulullah SAW mengatakan bahwa ilmu warisan itu termasuk yang pertama kali akan diangkat dari muka bumi. Sehingga sampai pada satu masa dimana tidak ada lagi orang yang bisa membagi harta waris secara benar sesuai dengan syariat Islam.

  1. Belajar Mawaris Sejajar Dengan Belajar Al-Quran

Selain Rasulullah SAW memerintahkan kita belajar ilmu waris, khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu juga secara khusus memerintahkan umat Islam mempelajari ilmu waris. Bahkan beliau menyebutkan kita harus mempelajari ilmu waris sebagaimana kita belajar Al-Quran Al-Kariem.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ  أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: تَعَلَّمُوا الفَرَائِضَ كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ القُرْآنَ .

Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu beliau berkata, “Pelajarilah ilmu faraidh sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran”. (HR. Ad-Daruquthuny dan Al-Hakim)

Perintah ini mengandung pesan bahwa belajar ilmu waris ini sangat penting bagi umat Islam, karena disejajarkan dengan belajar Al-Quran.

Padahal di berbagai negeri Islam, belajar Al-Quran itu dilakukan sejak masih kecil. Tetapi belajar ilmu faraidh terbalik, di masa kecil tidak pernah diajarkan, sampai tua sekali pun juga masih buta 100% tentang ilmu ini. Dan amat disayangkan belum ada kalangan yang punya perhatian penuh kepada ilmu ini, walaupun pesan dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu sangat tegas dan jelas, ajari anak-anak kita ilmu faraidh sebagaimana kita mengajari mereka Al-Quran Al-Kariem.

Kita menyaksikan banyak umat Islam yang secara khusus belajar membaca Al-Quran. Ada begitu banyak metode untuk menguasai cara mengeja Al-Quran. Di negeri kita ini juga begitu banyak pesantren khusus Al-Quran didirikan, bahkan ada perguruan tinggi khusus buat ilmu-ilmu Al-Quran.

Sayangnya, justru urusan waris ini masih belum mendapat perhatian khusus. Masih sedikit orang yang mempelajarinya. Dan kita belum pernah mendengar ada pesantren apalagi perguruan tinggi yang secara khusus mengajarkan ilmu waris.

  1. Belajar Mawaris Merupakan Bagian Dari Penegakan Syariah Islam

Mempelajari ilmu mawaris di masa sekarang ini bisa menjadi bentuk nyata dari langkah penegakan salah satu pondasi dan tiang bangunan syariah Islam yang sedang diperjuangkan umat.

Kalau banyak kalangan menyerukan penegakan syariat Islam lewat berbagai macam jalur, baik lewat jalur inside atau pun outside, maka mengajarkan ilmu mawaris ini justru merupakan langkah yang nyata dari penegakan syariat Islam, dengan dua jalur sekaligus, yaitu inside dan outside.

Bagaimana hal itu terjadi?

Langkahnya sederhana saja dan tidak perlu terlalu tegang atau pun bikin gaduh untuk menegakkan syriat Islam di negeri Indonesia ini. Logikanya, kalau tiap-tiap individu, orang tua, atau keluarga dari umat Islam ini bukan hanya mengerjakan shalat 17 rakaat dalam sehari semalam, tetapi bersamaan dengan itu juga ikut mengaji dan belajar ilmu-ilmu syariah yang sesungguhnya sangat akrab dengan kita, tentu pada satu titik tertentu kita akan mendapatkan hasil berupa generasi penerus yang akan tumbuh dewasa dengan hasil cetakan yang baik di dalam kepala mereka.

Ketahuilah bahwa munculnya kalangan yang anti dengan syariat Islam, padahal mereka sendiri beragama Islam, karena terjadi ketimpangan dan kesalahan fatal sejak awal. Dan yang paling bertanggung-jawab dengan kesalahan itu bukan siapa-siapa, tetapi kita sendiri.

Kita tidak pernah mengajarkan syariat Islam kepada anak-anak kita sejak mereka masih kecil. Kita hanya sibuk menjejalkan kepala mereka dengan ilmu-ilmu eksak, yang sama sekali tidak pernah menyentuh ajaran Islam. Padahal ilmu mawaris itu beririsan besar dengan matematika.

Tidak sedikit orang tua yang cemas kalau melihat raport anaknya merah pada pelajaran Matematika. Sehingga akhirnya dengan susah payah anak-anak itu diwajibkan ikut berbagai macam les, kursus, atau pelajaran tambahan. Tetapi ketika anak-anak itu tidak tahu bagaimana cara membagi harta waris, belum pernah ada yang merasa cemas.

Dan kebodohan atas ilmu mawaris itu tetap dipelihara sampai tua, sampai jadi kakek-kakek dan nenek-nenek. Bodoh dalam arti tidak tahu dan juga seringkali lebih parah, karena bentuknya adalah penolakan, resistensi, antipati dan membenci.

Kalangan yang antipati dengan hukum mawaris dalam syariah Islam itu adalah umat Islam, mereka mungkin tidak pernah tinggalkan shalat fardhu lima waktu, kadang dahinya hitam karena seringkali shalat malam. Juga selalu puasa Ramadhannya, bahkan mungkin puasa Senin Kamis tidak pernah putus.

Sayangnya, ketika bicara tentang hukum waris, yang dikemukakan justru sistem hukum waris dari Belanda yang pernah menjajah kita, atau hukum waris adat istiadat buatan nenek moyang.

Bukan apa-apa, karena yang mereka pelajari tidak lain dan tidak bukan memang hukum Belanda atau hukum adat. Sedangkan hukum Islam apalagi ilmu mawaris justru tidak pernah diajarkan. Kalau pun hukum Islam yang diajarkan, umumnya berhenti sampai pada masalah wudhu’, tayammum, mandi janabah, shalat, puasa, haji dan selesai.

Pantas saja kita selalu melahirkan kalangan yang anti dengan hukum-hukum mawaris yang telah diajarkan Rasulullah SAW, penyebabnya ternyata kita sendiri yang sangat tidak peduli.

Maka belajar dan mengajarkan ilmu mawaris saat ini bisa kita anggap sebagai bayar hutang atas kesalahan kita di masa lalu. Dan kalau nanti berhasil, sebenarnya kita tidak perlu berhadapan dengan kalangan yang anti dengan syariah Islam, khususnya yang anti terhadap hukum waris Islam. Sebab sejak kecil mereka sudah kita ajarkan alif-ba-ta ilmu hukum waris ini. Sejak mereka masih duduk di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), yang saat ini cukup tersebar di berbagai masjid dan pengajian. www.rumahfiqih.com

 

[contact-form][contact-field label=’Nama’ type=’name’ required=’1’/][contact-field label=’Email’ type=’email’ required=’1’/][contact-field label=’Website’ type=’url’/][contact-field label=’Komentar’ type=’textarea’ required=’1’/][/contact-form]