photo of person kneeling in front of a book

QUR’ANIC PERSONALITY

                Pembaca rahimakumullah, banyak orang tertarik mengikuti tes kepribadian. Tes-tes dikemas dalam pelatihan  untuk mengenal watak pribadi, karakter psikis, penelusuran bakan dan minat, gali potensi dan sebagainya agar tak salah dalam memilih karir duniawi. Tidak ada masalah memang. Akan tetapi, adakah perhatian yang sama dilakukan untuk menilai karakter diri dikaitkan dengan masa depan akhirat?

                Banyak yang lupa, bahwa sebernya Al-Qur’an telah komplit menyebutkan segala tipe dan kriteria manusia terpuji, lengkap dengan tingkatan dan jenis unggulan amalnya. Begitupun dengan segala kriteria manusia yang tercela, lengkap dengan tingkatan dan jenis-jenis keburukannya. Seperti apapun karakter dan jenis manusia, teramasuk masing-masing kita, al-Qur’an telah menyebutkan tentangnya. Persoalnnya, tidak banyak yang secara serius menjadikan Al-Qur’an sebagai cermin keperibadian, atau menjadikannya sebagai acuan meniti ‘karir’ akhiranya.

                Di antara sedikit orang yang secara serius menggali kepribadian diri dengan AL-Qur’an adalah senior tabi’in, Ahnaf bin Qois. Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam Mukhtashar Qiyamul Lail mengisahkan tetntang ahnaf. Suatu kali beliau duduk merenungi firman Allah Ta’ala:

لَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“ Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat ‘dzikrukum’ (penyembutan tentang dirimu) sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? ”

(QS. Al-Anbiya’:10)

                Tatkala membaca ayat tersebut, ia bergumam, “saya akan membaca mushaf Al-Qur’an dan mencari ayat yang menyebutkan tentang karakter diriku, sehingga aku tahu tipe orang seperti apa aku, dan kaum mana yang paling mirip dengan diriku.”

Mulailah beliau membaca, dan beliau melewati karakter suatu kaum,

كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ  وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ   

“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

(QS. Adz-Dzariat: 17-19)

Beliau juga melewati kaum yang dipuji oleh Allah dalam firman-Nya,

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung”

(QS. Al-Hasr:9)

Juga kaum yang disebutkan Allah,

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.”

(QS. Asy-Syura:37)

                Setelah melewati beberapa kriteria kaum yang dipuji oleh Allah tersebut, beliau berkata, “Allahumma lastu a’r ifu nafsi fi haa’ulaa’I”, Ya Allah, aku belum mendapati diriku termasuk dalam kriteria kaum-kaum itu”

                Ini adalah sikap tawadhu’ beliau, bukan berarti beliau nihil dari kebaikan-kebaikan seperti yang beliau baca. Namun beliau merasa bahwa kriteria tersebut bukan amalan unggulannya. Bukan seperti kebiasaan kita, saaat sudah beramal sedikit lalu bangga dan mengangganya telah beramal luar biasa.

                Penasaran karena merasa belum mendapatkan kriteria yang pas untuk dirinya, beliau melanjutkan pencariannya dalam AL-Qur’an. Beliau melewati karakter masnusia yang disebutkan oleh Allah,

                Setelah beliau membaca beberapa kriteria orang-orang yang celaka tersebut beliau berkata, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari perilaku yang seperti itu.” Beliau memang tidak memiliki kriteria seperti itu, dan beliau takut, dan tidak ingin terjerumus dalam prilaku buruk diatas.