APA YANG TERJADI DI AL-MUHARROM?

               Keduanya adalah bulan haram. Seakan memberikan kepada kita sebuah isyarat agar memulai tahun dengan kebaikan dan mengakhiri tahun pun dengan kebaikan. Karena bulan-bulan haram adalah bulan-bulan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala muliakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah[9]: 36)

Bulan Allah
               Kita memulai tahun ini dengan bulan Muharram. Di mana bulan Muharram adalah bulan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala istimewakan. Di antara keistimewaan bulan Muharram adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menamainya dengan bulan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

شهر الله المحرم

“Bulan Allah adalah Muharram.” (HR. Muslim)

               Hal itu menunjukkan betapa agungnya bulan ini. Bulan Muharram yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan atas kita semuanya. Sebagaimana seringkali kita mendengar penjelasan dari asaatidzah bahwa di bulan-bulan haram amalan-amalan keburukan dilipatgandakan dosanya menjadi besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala melanjutkan dalam firman-Nya;

فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ

“Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu,” (QS. At-Taubah[9]: 36)

               Artinya berbuat zalim di bulan-bulan itu Allah Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan dosanya di sisi-Nya. Demikian pula amal shalih pun Allah Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan pahalanya di sisi-Nya.

Puasa Asyura
               Di antara amalan yang bisa kita amalkan di bulan Muharram yaitu puasa Asyura. Di mana puasa Asyura kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Menggugurkan dosa setahun yang telah berlalu.” (HR. Muslim)

               Subhanallah. Betapa agungnya puasa ini. Bahkan di awal-awal Islam ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala belum mewajibkan puasa Ramadhan, maka puasa Asyura itu termasuk puasa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum muslimin. Akan tetapi ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menjadikan puasa Asyura sesuatu yang tidak wajib. Namun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menekankan kita untuk berpuasa di hari itu dan menyebutkan keutamaan yang agung sebagaimana telah kita sampaikan tadi.

               Maka dari itulah, orang-orang yang menginginkan kebaikan yang menginginkan agar dosa-dosanya digugurkan, ini adalah kesempatan emas untuk kita digugurkan dosa-dosa kita setahun yang telah lalu. Namun ketika kita puasa Asyura, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita agar berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Itu dalam rangka menyelisihi orang-orang ahli kitab.

Menyelisihi Ahli Kitab
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Jika Muharram tahun depan saya masih hidup, saya akan puasa tanggal 9.” (HR. Ahmad 1971, Muslim 2723 dan yang lainnya)

               Tentunya Rasulullah ingin berpuasa juga di tanggal 9 karena untuk menyelisihi ahli kitab. Orang-orang ahli kitab berpuasa di hari itu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lainnya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika datang ke Kota Madinah, beliau mendapati para ahli kitab yaitu orang-orang yahudi berpuasa di tanggal 10 Muharram. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Hari apa ini?” Mereka berkata, “Ini hari yang Allah selamatkan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Maka kami ingin berpuasa di hari ini.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

أَحَقُّ بموسى منكم

“Aku lebih berhak kepada Nabi Musa dari pada kalian.”

               Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Lalu karena orang Yahudi pun berpuasa di tanggal ini, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk menyelisihi mereka. Karena menyelisihi ahli kitab merupakan perkara yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kita. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk menyerupai mereka. Beliau bersabda;

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

               Maka agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk berpuasa pada tanggal 9 atau tanggal 11 nya. Sehingga puasanya tidak serupa dengan puasanya orang-orang Yahudi.

Perbanyak Puasa

               Maka dari itu kita berusaha semaksimal mungkin untuk bisa berpuasa pada tanggal itu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwasanya seutama-utamanya puasa setelah bulan Ramadhan yaitu berpuasa di bulan Allah; Muharram. Ternyata puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah berpuasa di bulan Muharram, ya akhal Islam.

               Ini menunjukkan bahwa di bulan Muharram ini pun sangat dianjurkan bagi kita untuk banyak berpuasa. Karena nilainya sangat besar dan tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa itu puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan.

               Di bulan Muharram ini marilah kita mulai dengan lembaran yang lebih putih. Marilah kita berusaha untuk memperbaiki/ membenahi diri. Ketika kita setahun kemarin telah banyak berbuat dosa dan maksiat, maka kita berusaha untuk bertaubat dan banyak beramal shalih di tahun ini. Demi Allah, kita tidak tahu kapan ajal akan mendatangi dari kita. Entah itu besok, lusa, ataukah tahun yang akan datang. Kita tidak tahu.

               Maka tugas setiap mukmin adalah mempersiapkan dirinya menuju kematian itu dengan banyak beramal shalih. Dan ini adalah bulan yang sangat tepat bagi kita untuk beramal shalih. Sehingga pada waktu itu kita bisa mendapatkan pahala yang melimpah ruah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

               Kemudian di sana ada perkara-perkara yang diyakini oleh sebagian kaum muslimin itu adalah termasuk syariat Islam. Padahal itu bukan syariat Islam sama sekali. Sebagian kaum muslimin mempunyai keyakinan bahwa pada tanggal 10 Muharram (Hari Asyura) itu lebarannya anak yatim. Mereka punya keyakinan itu dan kemudian menyantuni anak yatim di hari itu. Padahal sama sekali tidak ada dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak ada keterangan dari para sahabat, tidak pula para tabi’in, imam yang empat, ataupun para ulama hadits. Semua itu diada-adakan.

               Justru kata para ulama tentang 10 Muharram (Hari Asyura) ini ada dua firqah yang menyimpang. Yang pertama firqah Syi’ah. Mereka menjadikan hari tersebut hari Asyura sebagai hari berkabung. Bahkan mereka menyiksa diri pada waktu itu. Firqah yang kedua yaitu firqah khawarij. Mereka menjadikannya sebagai perayaan. Bahkan mereka bersenang-senang di situ. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak demikian.

               Ahlussunnah Wal Jama’ah menghormati tanggal 10 Muharram dengan cara berpuasa karena itu yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak meyakini keyakinan-keyakinan yang tidak pernah ada dasarnya dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwasanya menyantuni anak yatim dianjurkan di waktu kapan saja sepanjang tahun.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا » وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya (HR. Bukhari)

               Maka dari itu, ya umatal Islam, tidak boleh kita meyakini itu lebaran yatim ataupun yang lainnya. Kecuali dengan dalil dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

               Bagi seorang mukmin, bertambahnya tahun demi tahun itu adalah merupakan kesempatan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perubahan tahun demi tahun tidak ada bedanya dengan perubahan bulan demi bulan atau hari demi hari. Tidak ada keistimewaan kecuali dengan dalil dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak perlu ada perayaan-perayaan yang kita buat-buat seperti perayaan awal tahun atau yang disebut oleh orang dengan istilah doa awal/ akhir tahun.

               Semua itu tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Silahkan Anda baca dalam kitab-kitab yang shahih. Tidak akan pernah kita dapatkan dalam Al-Qur’an atau pun hadits-hadits yang shahih tentang adanya doa awal tahun atau pun doa akhir tahun. Tidak pula puasa awal tahun atau pun puasa akhir tahun. Semua itu diada-adakan.

Madzhab Imam Syafi’i
               Kewajibah kita adalah ittiba’ur Rasul, mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Oleh karena itu Imam Asy Syafi’i berkata;

اذا صح الحديث فهو مذهبي.

“Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”

               Di sini Imam Syafi’i rahimahullah menegaskan bahwa kita dalam beragama itu harus berdasarkan hadits yang shahih. Imam Syafi’i juga berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal,

يا احمد, انت اعلم مني في الحديث فاذا كان الحديث صحيحا فاخبرني

“Wahai Ahmad, engkau lebih ‘alim dari saya tentang hadits. Apabila di sana ada hadits yang shahih, kabarkan kepadaku supaya aku bisa mengamalkannya.”   

               Itulah Madzhab Imam Asy Syafi’i. Itulah yang beliau bimbing kepada pengikutnya agar mengikuti hadits yang shahih. Bukan hadits yang tidak shahih. Apalagi hadits yang palsu, atau pun hadits yang dibuat-buat yang banyak manusia di zaman ini membuat hadits-hadits atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.