Bersedekah Tanpa Izin Suami

Setiap insan pasti menginginkan kehidupan yang bahagia di akhirat. Berbagai langkahpun ditempuh, ibadah dan amal shalih digiatkan. Seorang wanita yang telah memiliki suami, disamping ketaatannya kepada suami, terbuka peluang berbagai amal diantaranya sedekah.

Ketika harta yang ingin disedekah adalah harta suami, tentu saja harus izin dalam mendistribusikannya. Namun, bagaimana bila harta tersebut adalah harta sang istri sendiri? apakah sang istri harus meminta izin suami terlebih dahulu? simak pembahasan di bawah ini.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang merdeka, baligh, berakal dan sanggup dalam mengelola harta boleh membelanjakan harta miliknya secara mutlak. Baik digunakan untuk jual beli, hadiah, wakaf, dst. Dalam hal ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

Permasalahan mengenai seorang istri yang membelanjakan harta milik sendiri telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Pendapat mereka terbagi menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama, seorang istri tidak boleh membelanjakan harta miliknya secara mutlak kecuali telah mendapat izin dari suaminya. Ini adalah pendapat yang dipilih dan dikuatkan oleh al-Laits dan Thawus. Pendapat ini disandarkan kepada hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah n bersabda,

لَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ عَطِيَّةً إِلَا بِإِذْنِ زَوْجِهَا

Tidak boleh seorang perempuan membelanjakan harta kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Ahmad)

Dan hadits dari Abdullah bin Yahya seorang lelaki anak dari Ka’ab bin Malik dari bapaknya dari kakeknya bahwa neneknya Khairah istri Ka’ab bin Malik, ia mendatangi Rasulullah dengan membawa perhiasannya, lalu ia berkata, “Aku ingin menyedekahkan perhiasan ini.” Rasulullah lalu bersabda kepadanya, “Seorang istri tidak boleh menyedekahkan hartanya kecuali atas izin suaminya. Apakah kamu sudah meminta izin kepada Ka’ab?” ia menjawab, “Ya.” Rasulullah kemudian mengutus seseorang menemui Ka’ab bin Malik suaminya untuk menanyakan, “Apakah kamu sudah mengizinkan Khairah untuk bersedekah dengan perhiasan miliknya?” Ka’ab menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah pun menerima sedekahnya.” (HR. Ibnu Majah)

Pendapat kedua, dibolehkan bagi seorang istri menyedekahkan harta kepada suaminya secara khusus baik sedikit atau banyak. Sedangkan sedekah kepada selain suami, maka harus seizin suaminya manakala harta yang akan disedekahkan sebanyak 1/3 atau lebih dari harta yang dimilikinya. Ini adalah pendapat imam Malik. Dalil yang menjadi dasar bolehnya memberi sedekah kepada suami sekehendak keinginan istri adalah hadits Rasulullah,

Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama, (jika tidak) maka celakalah kamu.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Pendapat ketiga, dibolehkan bagi istri untuk menyedekahkan harta yang dimiliki dan boleh juga membelanjakannya tanpa harus meminta izin dari suami. Tidak ada perbedaan antara suami ataupun istri dalam pemanfaatan harta miilik sendiri.

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama. Pendapat ini berdasarkan beberapa argumentasi. Di antaranya adalah,

Pertama, masuknya golongan wanita dalam hal perintah, sifat, dan hukum yang ditujukan kepada manusia atau kaum mukminin walaupun disebutkan dalam bentuk Mudzakar. Contoh; يا أيها الذين امنوا, artinya wahai orang-orang yang beriman, يا أيها الناس artinya wahai sekalian manusia, قد أفلح المؤمنون artinya sungguh beruntung orang-orang mukmin. Masih banyak lagi ayat ataupun hadits yang seperti itu. Manakala ayatnya semacam itu maka wanita termasuk dalam ayat-ayat tersebut. Sehingga perintah yang ditujukan kepada kaum lelaki juga berlaku bagi kaum wanita. Kecuali ada dalil khusus yang menunjukkan hanya ditujukan bagi kaum laki-laki saja tanpa kaum wanita.

Kedua, kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam mayoritas hukum-hukum syar’i. Di antaranya adalah sedekah. Allah Ta’ala berfiman,

وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-Nisa’: 124)

Masih banyak lagi ayat yang semakna dengan ayat di atas. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa barang siapa yang beramal shalih di jalan yang diridhai oleh Allah Ta’ala dalam ayat ini adalah menginfakkan hartanya. Sehingga dibolehkan bagi seorang istri menginfakkan hartanya sendiri tanpa harus meminta izin suami.

Dalil dari sunnah yang membolehkan istri bersedekah dengan hartanya sendiri di antaranya,

إِنَّ مَيْمُونَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا أَعْتَقَتْ وَلِيدَةً وَلَمْ تَسْتَأْذِنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُهَا الَّذِي يَدُورُ عَلَيْهَا فِيهِ قَالَتْ أَشَعَرْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ

Sesungguhnya Maimunah binti al-Harits telah mengabarkan bahwasanya ia telah memerdekakan budak perempuan sebelum meminta izin kepada Nabi. Maka ketika hari gilirannya, ia bertanya, “Apakah engkau tahu ya Rasulallah, bahwa aku telah memerdekakan budak perempuanku?” Nabi bertanya, “Apakah sudah kamu lakukan?” Jawabku, “Ya, sudah.” Nabi bersabda, “Adapun jika engkau memberikannya kepada paman-bibimu (dari ibu), maka lebih besar lagi pahalanya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Dan hadits yang kedua adalah hadits yang menceritakan tentang Ummu Fadhl.

“Dari Ummul Fadhl binti Al-Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Kesimpulan

Imam an-Nawawi menjelaskan beberapa faedah dari hadits di atas, di antaranya adalah seorang istri boleh menyedekahkan dan membelanjakan hartanya sendiri tanpa harus meminta izin suaminya. Baik menyedekahkan sepertiga atau lebih. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i dan mayoritas ulama. Sedangkan menurut pendapat imam Malik, seorang istri tidak boleh menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga kecuali seizin suami. (Syarhu an-Nawawi ‘ala Shahihi Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, 8/3; Nailul Authar, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, 6/ 89). Wallahu ‘alam. [disadur dari hujjah]