Bijak dalam Menerima Informasi

Para ahli mengatakan masyarakat hidup di dalam komunikasi. Tanpa komunikasi sulit dibayangkan manusia dapat beradaptasi dengan lingkungannya, mengontrol dan membina hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan lingkungannya. Vitalnya komunikasi itu meniscayakan manusia untuk mengelola informasi secara cerdas dan bijak.

Seiring dengan tersedianya fasilitas telekomunikasi yang semakin mudah dan makin pribadi, semakin banyak informasi yang setiap hari menerpa masyarakat. Masyarakat semakin mudah memperoleh informasi yang dibutuhkan. Seharusnya hidup juga menjadi semakin mudah. Itulah idealnya. Ternyata keadaan tidak selalu demikian. Tentu saja ada faktor-faktor yang menjadi hambatan itu.

  1. informasi itu kadangkala terasa baru dan menarik untuk dibagikan. Tanpa berpikir panjang kadang kita membagikannya begitu saja. Saat ada sangkalan, ada dari kita yang menghindar dengan mengaku sekadar menyalin, atau menjadi terlibat untuk mempertahankannya, padahal bukan kita yang membuatnya.
  2. sebagian besar informasi itu datang tanpa kita butuhkan. Itu mengambil ruang di dalam memori telepon selular kita. Juga mengambil ruang di benak kita. Kita butuh cara untuk mencegahnya. Jika tidak tercegah dan terlanjur masuk, maka butuh waktu tersendiri untuk menghapusnya.
  3. sebagian informasi itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Sebagian bisa dimaknai secara positif untuk memperkaya sudut pandang kita. Sebagian dapat mendorong kita untuk belajar lebih banyak. Dan sebagian lagi memang tidak perlu kita perhatikan, karena tidak berdasar dan bercita rasa rendah.

Ada berderet kemungkinan bisa terjadi. Dari yang sederhana sampai kepada yang serius akibatnya. Untuk itu negara-negara berkepentingan mengatur domain informasi, karena domain ini memang krusial dan berkaitan dengan aspek kepentingan, relasi dan nilai-nilai. Yang ketiganya akan berkaitan dengan ranah distribusi kewenangan dan sumber daya. Kalau sudah begitu, segi struktural pun bisa terpengaruh.

Dalam bentuk bagan lingkar, kita dapatkan enam domain yang berkaitan, yaitu kepentingan, informasi, nilai-nilai, relasi, sumber daya dan struktur. Itu menurut bahan kajian Plowshares Institute (tahun 2000). Jika hendak memenuhi kepentingan tertentu, maka yang pertama diolah adalah informasi.

Informasi yang baik akan mengukuhkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, sehingga menyumbang relasi yang rukun dan adil, sehingga distribusi kewenangan dan sumber daya berlangsung tertib. Capaian ini akan bermanfaat untuk menjaga aspek-aspek struktural tetap dalam status seimbang.

Sebaliknya, jika orang memiliki kepentingan yang tidak sehat, maka informasi akan dimanipulasi. Akibatnya terjadi gangguan di dalam ranah nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Gangguan ini bisa merenggangkan relasi menjadi tidak rukun dan ikutannya adalah terjadinya persoalan di dalam distribusi kewenangan dan sumber daya. Di tingkat ini masyarakat merasakan kehidupan sudah berat, mereka resah, dan ini bisa mengganggu keseimbangan struktural di masyarakat.

Masyarakat kita sudah banyak belajar dari pengalaman. Aneka konflik horisontal dan vertikal silih berganti. Hasil akhirnya selalu merugikan bangsa kita sendiri. Karena salah informasi, terjadi perselisihan, bahkan kerusuhan. Butuh waktu yang lama untuk memulihkan kerukunan dan ketenteraman.

Untuk itu selalu baik untuk mengambil inspirasi dari dasar yang lestari. Dalam QS Az-Zumar [39]: 17-18 Allah SWT berfirman ” … sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsir beliau, Mafatih al-Ghaib, menyebutkan bahwa manusia memang harus melakukan penyelidikan (nadhar) dan berteguh pada acuan tertentu (istidlal) jika mendapatkan informasi. Informasi yang banyak merupakan kemudahan.

Pada saat yang sama juga menjadi beban karena harus dipilah yang baik dan berguna dari yang buruk dan sia-sia. Normalnya, yang baik dan berguna itulah yang dipilih dan diikuti agar dapat memperoleh petunjuk sebagai orang-orang yang dapat menyumbangkan kebaikan melalui informasi yang baik. Uraian itu memberitahu kita adanya tiga tingkat kualitas manusia terkait informasi.

  1. adalah konsumen informasi. Pada kualitas ini bisa jadi orang menelan begitu saja setiap informasi yang diterima dengan risiko terdikte persepsinya oleh sang penyebar informasi.
  2. pencerna informasi, yang mengerahkan nalar dan nurani untuk memilih dan mengikuti informasi hanya yang baik dan berguna. Daya pilih atas informasinya bekerja. Dan itu menolong di dalam menentukan sikap dan memilih tindakan.
  3. produsen informasi. Manusia dari kualitas ini bersedia mengerahkan kecendekiaannya untuk berbagi informasi yang terolah baik agar bermanfaat dan mencerahkan khalayak penerima. Mereka disebut di dalam kitab suci sebagai ulul albab.

Menilik banyaknya peristiwa yang melibatkan domain informasi, kita jadi terpanggil untuk semakin dewasa mengelola informasi. Setiap hari ribuan informasi masuk ke dalam benak kita. Jika kita terbiasa menerima, mencerna dan mereproduksi informasi itu secara bijak dan untuk kebaikan, maka kita sendiri akan terbebas dari kepungan informasi yang membingungkan. Memang, fungsi pokok informasi adalah untuk mengakhiri keraguan.

Dalam menerima informasi, islam telah mengajarkannya dalam firman Allah yang berbunyi,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6)

Ayat ini –seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir- termasuk ayat yang agung karena mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan atau berita yang menebar fitnah.

Apalagi perintah Allah ini berada di dalam surat Al-Hujurat, surat yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah sehingga Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surat yang sangat agung lagi padat (surat jalilah dhakhmah), karena memang komitmen seorang muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).

Peringatan dan pesan Allah dalam ayat ini tentu bukan tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi. Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang pada kesimpulannya turun karena peristiwa berita bohong yang harus diteliti kebenarannya dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar seperti dalam riwayat Imam Ahmad.

Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Kontan Rasulullah murka dengan berita tersebut dan mengutus Khalid untuk mengklarifikasi kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan bahaya berita palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu.

Yang menjadi catatan disini bahwa peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sukar mencari sosok yang jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi yang disampaikan?.

Secara bahasa, kata fasiq dan naba’ yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas disebut dalam bentuk nakirah (indifinitive) sehingga menunjukkan seseorang yang dikenal dengan kefasikannya serta menunjukkan segala bentuk berita dan informasi secara umum; berita yang besar atau kecil, yang terkait dengan masalah pribadi atau sosial, apalagi berita yang besar yang melibatkan segolongan kaum atau komunitas tertentu yang berdampak sosial yang buruk.

Sayyid Thanthawi mengemukakan analisa redaksional bahwa kata “in” yang berarti “jika” dalam ayat “jika datang kepadamu orang fasik membawa berita” menunjukkan suatu keraguan. Sehingga, secara prinsip seorang mu’min seyogyanya bersikap ragu dan berhati-hati terlebih dahulu terhadap segala informasi dari seseorang. Kemudian melakukan pengecekan akan kebenaran berita tersebut, sehingga tidak menerima berita itu begitu saja atas dasar kebodohan (jahalah) yang akan berujung kepada kerugian dan penyesalan.

Maka berdasarkan acuan ini, sebagian ulama hadits melarang dan tidak menerima berita dari seseorang yang majhul (tidak diketahui kepribadiannya) karena kemungkinan fasiknya sangat jelas.

Berdasarkan hukumnya, As-Sa’di membagikan sumber (media) berita kepada tiga klasifikasi:

  • berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima.
  • berita dari seorang pendusta yang harus ditolak.
  • berita dari seorang yang fasik yang membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.

Disini, yang harus diwaspadai adalah berita dari seorang yang fasik, seorang yang masih suka melakukan kemaksiatan, tidak komit dengan nilai-nilai Islam dan cenderung mengabaikan aturannya. Lantas bagaimana jika sumber berita itu datang dari media yang cenderung memusuhi Islam dan ingin menyebar benih permusuhan dan perpecahan di tengah umat, tentu lebih prioritas untuk mendapatkan kewaspadaan dan kehati-hatian.

Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah informasi yang datang dari seorang fasik, Allah juga mengingatkan agar tidak menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas kedudukannya. Allah swt berfirman, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18).

Sehingga sikap yang terbaik dari seorang mukmin seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat yang dipelihara oleh Allah saat tersebarnya isu yang mencemarkan nama baik Aisyah ra adalah mereka tetap berbaik sangka terhadap sesama mukmin dan senantiasa berwaspada terhadap orang yang fasik, apalagi terhadap musuh Allah yang jelas memang menginginkan perpecahan dan perselisihan di tubuh umat Islam.

“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (An-Nur: 16).

Dalam sebuah riwayat dari Qatadah disebutkan, “At-Tabayyun minallah wal ‘ajalatu minasy syaithan”, sikap tabayun merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan.

Semoga kita mampu menangkap pesan Allah yang cukup agung ini agar terhindar dari penyesalan dan kerugian. Wallahu a’lam.[]