Biografi Salahudin Al-Ayubi (1138 – 1193 M)

Dunia mengenalnya sebagai salah satu tokoh pemimpin terbesar. Dialah juga merupakan salah satu tokoh terbesar dalam Perang Salib. Namanya dikenal luas takkala ia dapat menaklukkan kerajaan Jerusalem yang ketika itu dipimpin oleh Guy The Lusignan Raja Jerusalem. Pasukan Shalahuddin dikenal sebagai pasukan yang pemberani dibawah pimpinannya.  Berikut biografi dan profil lengkapnya. Bernama lengkap Salahuddin Al-Ayubi yang dikenal didunia barat sebagai Saladin terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nur Ad-Din atau Nuruddin Zangi.

Anytime Fitness – 1855 Holmes St Livermore, CA – Health & Fitness, Exercise & Fitness Programs, Health Clubs – (925)-292-7196 what does zoe kravitz eat leg raise: exercise to work the abdominals

Biografi Sultan Salahuddin al-Ayyubi :

Memerintah 1174 M – 4 Maret 1193 M
Dinobatkan 1174 M
Nama lengkap Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
Lahir 1138 M di Tikrit, Iraq
Meninggal 4 Maret 1193 M di Damaskus, Syria
Dimakamkan di Masjid Umayyah, Damaskus, Syria
Pendahulu Nurussin Zengi
Pengganti al-Aziz
Ayah Najmuddin Ayyub
Paman Asaduddin Syirkuh
Dinasti Ayyubiyah

Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada purtanya yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi oleh para wali. Di bawah para Wali terjadi perebutan kekuasaan di antara putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nuruddin menjadi terpecah-pecah. Salahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Salahuddin melawannya dan menyatakan diri sebagai Raja untuk wilayah Mesir dan Syan pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Iraq.

Salahuddin al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Iraq). Salahuddin lahir di benteng Tikrit, Iraq tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Saljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Saljuk untuk kota Mousul, Iraq. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Salahuddin) di angkat menjadi Gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Salahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Salahuddin melanjutkan pendidikannya ke Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama 10 tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169 M, Salahuddin diangkat menjadi seorang Wazir (konselor).

Parjalan Hidup Salahuddin al-Ayyubi

Sultan Salahuddin al-Ayyubi, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat islam karena mampu menyapu bersih, menghancur leburkan tentara salib yang merupakan tentara gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa. Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusiaan seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama 20 tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris. Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejara umat manusia, memakan korban ribuan jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam.

Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya Salahuddin selalu berhasil mengalahkan serbuan para Crusader Eropa, terkecuali 1 hal yang tercatat adalah Salahuddin sempat mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerussalem (kerajaan singkat di Jerussalem pada saat perang salib). Namun, mundurnya Salahuddin tersebut mengakibatkan Raynald of Chatillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerussalem memprovokasi muslim dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang digunakan sebagai jalur Jamaah Haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald mengancan menyerang 2 kota suci tersebut, hingga akhirnya Salahuddin kembali menyerang Kingdom of Jerussalem pada tahun 1187 M dalam perang Battle of Hittin, sekaligus mengeksekusi hukuman mati pada Raynald dan menangkap Rajanya, Guy of Lusignan.

Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu. Terutama ketika orang hanya mencoba menghidpkan kembali apa yang gagah berani dari abad ke-12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh peperangan. Bahkan ketika Salahuddin al-Ayyubi wafat dan rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, karena hartanya banyak ia berikan kepada rakyatnya yang membutuhkan.

“Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja”

Itulah kata-kata sebagai bukti kezuhudan dan kesahajaan dari seorang Salahuddin Yusuf al-Ayyubi. Munkin kata-kata mutiara inilah yang harus dipegang oleh para penguasa sekarang ini dan kepemimpinan seperti Salahuddin al-Ayyubi yang kita harapkan muncul di zaman milenium yang serba amburadul seperti ini, walaupun itu sebuah pengharapan yang hampir mustahil terwujud, tapi kita berharap saja ada Salahuddin-Salahuddin baru yang akan memimpin dengan kebijaksanaan yang luar biasa. Kisah kepemimpinan dan Suri Tauladannya masih tetap dikenang banyak orang tak terkecuali orang-orang barat baik itu melalui puisi, novel dan sebuah saksi sejarah.

Saat Salahuddin menjadi Sultan, kondisi umat islam dalam kondisi yang mngenaskan secara rukhyah. Penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati). Penyakit hati ini menyebar dan tumbuh di dalam hati sebagian besar kaum muslimin sehingga api jihad benar-benar padam. Sebagaimana kita tahu bahwa semangat jihad adalah modal yang tidak dimiliki oleh ummat lain. Sejarah membuktikan bahwa semangat jihad inilah yang manurunkan keridhaan Allah atas setiap kemenangan umat islam. Seperti Kemenangan Perang Badr, Kemenangan perang Yarmuk, Kemenangan perang Khandak, dan Kemenangan perang lainnya. Di sisi lain ukhuwah umat muslim sangatlah hancur. Secara politik umat islam terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan dan kesultana walaupun masih dalam satu kekhalifahan Abbasyah yang berpusat di Baghdad.

Melihat kondisi seperti itu, Salahuddin berpikir bahwa untuk melawan Pasukan Salib tidak hanya membutuhkan pasukan dalam jumlah besar, melainkan juga api jihad yang berkobar-kobar dalam setiap jiwa kaum muslimin. Salahuddin ingin membangkitkan semangat jihad dengan menghadirkan kembali semangat juang dan kepahlawanan Rasulullah Muhammad SAW. Kemudian Salahuddin menggagas sebuah festival yang dinamai dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tujuan dari festival ini adalah untuk mengembalikan semangat juang Rasulullah dengan mempelajari sirah-sirahnya. Di festival ini, dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah Nabi) dan Atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai perjuangan (jihad).

Pada awalnya, gagasan Salahuddin ini ditentang oleh para ulama, karena kegiatan ini adalah bid’ah (kegiatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah). Salahuddin menegaskan bahwa acara ini bukanlah kegiatan ritual yang merupakan bid’ah yang dilarang, tetapi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan Syiar. Kemudian Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah Abbasiyah, an-Nashir di Baghdad. Dan Khalifah pun menyetujuinya.

Salahuddin sendiri tidak tinggal di istana megah. Ia justru tinggal di Mesjid kecil bernama al-Khaganah di Via (jalan Do-lorossa, dekat Gereja makam suci. Kantornya terdiri dari 2 ruangan berpenerangan minim yang luasnya tak mampu menampung 6 orang yang duduk berkeliling. Salahudi sangat menghindari korupsi yang sering menghinggapi para Raja pemenang perang).

Salahuddin meninggal pada tanggal 4 Maret 1193 di Damaskus. Para pengurus jenazahnya sempat terperangah karena Salahuddin tidak mempunyai harta. Ia hanya mempunyai selembar kain kafan lusuh yang selalu dibawanya dalam setiap perjalanannya dan uang senilai 66 dirham Nasirian (mata uang Suriah waktu itu) di dalam kotak besinya. Untuk mengurus penguburan panglima alim tersebut, mereka harus berhutang terlebih dahulu.

“Di Eropa, Salahuddin al-Ayyubi atau Saladin telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri tauladan kaum ksatria”, ungkap Hitti. Sifat penyayang dan belas kasihan Salahuddin ketika peperangan sangat jauh berbeda dibanding kekejaman Perang Salib. Ahli sejarah Kristian pun mengakui mengenai hal itu. Penulis Barat, Lane-Poole mengagumi kebaikan hati Salahuddin yang mampu mencegah dan meredam amarah umat islam dari upaya balas dendam. Lane-Poole juga melukiskan Salahuddin telah menunjukkan ketinggian akhlaknya ketika orang Kristian menyerah kalah. “Tentaranya sangat bertanggung jawab, menjaga peraturan setiap jalan, mencegah segala bentuk kekerasan sehingga tidak ada kedengaran orang Kristian dianiaya.”

Jejak perjuangan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi :

1138 M : Salahuddin al-Ayyubi lahir di Tikrit
1152 M : Salahuddin mulai bekerja di bawah pimpinan penguasa Syria Nuruddin.
1164 M : Mulai menunjukkan kemampuannya dalam strategi militer melawan tentara Perang Salib di Palestina.
1169 M : Salahuddin menjadi wakil komandan militer Syria
1171 M : Salahuddin menekan penguasa Fatimiyah di Mesir dan menjadi pemimpin Mesir. Kemudian dia menggabungkan Mesir dengan khalifah Abbasiyah
1174 M : Penguasa Syria, Nuruddin meninggal. Salahuddin mengembang Basis.
1183 M : Penaklukkan kota di utara Suriah, Aleppo
1186 M : Penaklukkan Mosul di Iraq
1187 M : Dengan kekuatan baru, menyerang kerajaan latin Jerussalem dengan pertempuran sengit selama 3 bulan.
1189 M : Perang Salib III meluas di Palestina setelah Jerussalem di kontrol Salahuddin
1192 M : Menandatangani perjanjian dengan King Richard I dari Inggris yang membagi wilayah pesisir untuk Kaum Kristen dan Jerussalem untuk kaum muslimin
1193 M : Meninggal di Damaskus tidak lama detelah jatuh sakit

Profil Kehidupan Salahuddin Al Ayyubi
Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din Ibn Ayyub atau Saladin/salahadin (menurut lafal orang Barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari pahlawan perang ini adalah perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid, berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang tahun. Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad atau miladiyah, meskipun maksudnya adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi.

Selain belajar Islam, Shalahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan pamannya Shalahuddin menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimid (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).

Dinobatkannya Shalahuddin menjadi sultan Mesir membuat kejanggalan bagi anaknya Nuruddin, Shalih Ismail. Hingga setelah tahun 1174 Nuruddin meninggal dunia, Shalih Ismail bersengketa soal garis keturunan terhadap hak kekhalifahan di Mesir. Akhirnya Shalih Ismail dan Shalahuddin berperang dan Damaskus berhasil dikuasai Sholahuddin. Shalih Ismail terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh pada tahun 1181. Shalahuddin memimpin Syria sekaligus Mesir serta mengembalikan Islam di Mesir kembali kepada jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Menaklukkan Jerusalem
biografi shalahuddin al-Ayyubi

Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya Shalahuddin selalu berhasil mengalahkan serbuan para Crusader dari Eropa, terkecuali satu hal yang tercatat adalah Shalahuddin sempat mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerusalem (kerajaan singkat di Jerusalem selama Perang Salib). Namun mundurnya Sholahuddin tersebut mengakibatkan Raynald of Châtillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerusalem memrovokasi muslim dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang digunakan sebagai jalur jamaah haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald mengancam menyerang dua kota suci tersebut, hingga akhirnya Shalahuddin menyerang kembali Kingdom of Jerusalem di tahun 1187 pada perang Battle of Hattin, se威而鋼
kaligus mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald dan menangkap rajanya, Guy of Lusignan.

Akhirnya seluruh Jerusalem kembali ke tangan muslim dan Kingdom of Jerusalem pun runtuh. Selain Jerusalem kota-kota lainnya pun ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus. Jatuhnya Jerusalem ini menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third Crusade.

Perang Salib Ketiga ini menurunkan Richard I of England ke medan perang di Battle of Arsuf. Shalahuddin pun terpaksa mundur, dan untuk pertama kalinya Crusader merasa bisa menjungkalkan invincibilty Sholahuddin.

Advertisement

Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika Richard cedera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya.

Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Richard sepakat dalam perjanjian Ramla, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Setahun berikutnya Shalahuddin meninggal dunia di Damaskus setelah Richard kembali ke Inggris. Bahkan ketika rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, hartanya banyak dibagikan kepada mereka yang membutuhkannya.

 “….Anakku,” konon begitulah pesan Sultan itu kepada anaknya, az-Zahir, menjelang wafat, “…Jangan tumpahkan darah… sebab darah yang terpercik tak akan tertidur.”Selain dikagumi Muslim, Shalahuddin atau Saladin/salahadin mendapat reputasi besar di kaum Kristen Eropa, kisah perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa, salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott.

Masa lalu memang tidak mudah pergi meskipun kita seperti tak ingin menengoknya. Bahkan di salah satu tembok Masjid Umayyah yang dulu adalah Katedral Yahya Pembaptis yang dipermak jadi masjid yang indah di tahun 700-an itu, seorang sejarawan masih menemukan sisa inskripsi ini: “Kerajaan-Mu, ya, Kristus, adalah kerajaan abadi….”

Tapi jika masa lalu tak mudah pergi, dari bagian manakah dari Saladin yang akan datang kepada kita kini? Dari ruang makamnya yang kusam, mitos apa yang akan kita teruskan? Kisah Saladin adalah kisah peperangan. Dari zamannya kita dengar cerita dahsyat bagaimana agama-agama telah menunjukkan kemampuannya untuk memberi inspirasi keberanian dan ilham pengorbanan – yang kalau perlu dalam bentuk pembunuhan.

Tapi sebagian besar kisah Saladin – yang tersebar baik di Barat maupun di Timur dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad ke- 12 itu – adalah juga cerita tentang seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan darah. Saladin merebut Jerusalem kembali di musim panas 1187. Tapi menjelang serbuan, ia beri kesempatan penguasa Kristen kota itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan pasukannya dengan terhormat. Dan ketika pasukan Kristen itu akhirnya kalah juga, yang dilakukan Saladin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani budak-budak. Saladin malah membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Jerusalem, 70 ribu orang muslim kota itu dibantai dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.
Dalam hidupnya yang cuma 55 tahun, ikhtiar itulah yang tampaknya dilakukan Saladin. Meskipun tak selamanya ia tanpa cacat, meskipun ia tak jarang memerintahkan pembunuhan, kita toh tahu, bagaimana pemimpin pasukan Islam itu bersikap baik kepada Raja Richard Berhati Singa yang datang dari Inggris untuk mengalahkannya. Ketika Richard sakit dalam pertempuran, Saladin mengiriminya buah pir yang segar dingin dalam salju, dan juga seorang dokter. Lalu perdamaian pun ditandatangani, 1 September 1192, dan pesta diadakan dengan pelbagai pertandingan, dan orang Eropa takjub bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.

Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu bisa melahirkan orang sebaik itu. Terutama ketika orang hanya mencoba menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari abad ke- 12 tapi meredam apa yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh peperangan. Tapi pentingkah sebenarnya masa silam?

Dari makam telantar orang Kurdi yang besar itu, suatu hari di tahun 1970-an, saya kembali ke pusat Damaskus, lewat lorong bazar yang sibuk di depan Masjid Umayyah. Kota itu riuh, keriuhan yang mungkin tanpa sejarah.