BUKAN AMAL SHALIH

                Barat bola salju, manakalaisu toleransi digelindingkan, semakin melaju semakin dahsyat. Berawal dari teologi inklusif yakni perubahan konsep dari “Keyakinan mutlak” menjadi “keyakinan relative” terhadap kebenaran agamanya sendiri, akhirnya teologi tersebut dikembangkan lagi menjadi teologi pluralis menyakini bahwa semua gama sama benarnya.

                Mereka biasanya berdalil dengan firman Allah dalam surat Ali Imran:64 yang menganjurkan kita mencari titik temu (kalimatun sawa’), tapi saying, dia hanya mengambil kata “kalimun sawa’” nya saja, tanpa melihat keterangan lebih lanjut. bagaimana   wujud ajakan nabi pada   surat kepada Heraklius, kaisar satu kesepakatan dengan orang ahli Romawi: “Bismillahirrahmanirahim, kitab   dalam ayat tersebut: dari Muhammad Rasulullah

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.

(QS, Ali-Imran : 64)

                Bila kita baca secara lengkap, ayat tersebut jelas menunjukkan ajakan Nabi untuk mentauhidkan Allah. Sebab ahli kitab menjadikan Isa sebagai Tuan dan beliau menyeru mereka agar tidak menyembah sesame makhluk, karena kebanyakan ahli kitab menyembah para rahib dan pendeta mereka dalam bentuk mentaati dalam hal yang dilarang oleh Allah. Kalau saja ahli kitab telah dianggap beriman setelah diutusnya Nabi, tentu tidak perlu lagi nabi menyeru pada “kalimatun sawa” (satu kesepakatan) karena telah sepakat, tidak ada pula   istilah berpaling di antara ahli kitab.

                Lebih jelas lagi manakala kita melihat hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, tatkala Nabi mengirim surat kepada Heraklius, kaisar Romawi: “BismillahirrahmanirraHim, dari Muhammad Rasulullah untuk Heraklius pembesar Rum, keselamatan adalah bagi orang yangmengikuti petunjuk, amma ba’du, maka Islamlah kamu niscaya kamu akan selamat, Islamlah kamu niscaya Allah akan   melipatgandakan pahalamu, namun jika kamu berpaling, maka engkau menanggung dosa..” lalu beliau membaca ayat di atas.

                Sebagai penguat lagi, tatkala nabi mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka serulah mereka   agar bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka mentaatimu maka katakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kalian untuk shalat lima waktu…” Kalau saja ahli kitab sudah dianggap beriman dan dibenarkan keimanannya oleh Nabi, mungkin nabi hanya akan berpesan peganglah agamamu dengan baik! Sembahlah Yesus! Rajin-rajinlah ke gereja dan tuntutan-tuntutan lain sebagai konsekuensi menjadi ahi kitab. Sungguh perkara ini demikian gamblang, seterang bulan purnama, namun terangnya bulan tak bermanfaat bagi orang yang buta atau sedang tidur.

KEBAIKAN DAN AMAL SHALIH

                Sebagian pluralis mengukur kebenaran dari amal kebaikan yang dilakukan. Karena semua agama mengajarkan kebaikan maka semua agama benar. Amal shalih menurut anggapan mereka sekedar apa yang menurutnya baik, atau apa-apa yang menurut kebanyakan orang baik atau yang disebut budhi sebagai “kerja-kerja kemanusiaan,” standarnya bukanlah syariat. Padahal, “Tidak sama antara yang buruk dengan yangbaik, kendati jumlahnya yang buruk menarik hatimu.” (QS. Al-Maidah: 100)

                Kalau saja diukur dengan syariat Islam tentulah amal-amal non Islam tidak dapat dikatakan sebagai amal shalih. Karena amal shalih memiliki dua syarat, yakni ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal hanya Allah, benar adalah mengikuti untuk sunnah Rasulullah. Adapun non muslim, amal mereka jelas bukan karena Allah, tuntunan yang mereka lakukan pun   tidak mengikuti sunnah rasulullah, dari sisi mana amal mereka dianggap shalih? Mereka itulah yang dikabarkan ole Allah:

أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلًا

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”

(QS. Al-Furqaan:23)

 HATI-HATI KAFIR TANPA SADAR

                Wal hasil, segala bentuk permainan terminologi dan tafsiri yang dijadikan argumen pluralis sampai pada kesimpulan bahwa untuk meraih gelar orang beriman tidak harus melalui Islam. Tidak perlu harus menyatakan asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah dan tidak harus pula mengambil Islam sebagai agama.

                Padahal bila kita mau melihat kisah Abu Thalib, semuanya menjadi gamblang. Kendati ia   orang yang dalam hatinya mengakui kebenaran nabi, kebaikannya dalam membela Nabi pun tidak tanggung-tanggung. Namun manakala sampai akhir hayatnya dia tidak mau mengikrarkan syahadat, ia tetap di neraka sebagaimana yang disabdakan Nabi. Yang demikian itu karena mengikrarkan syahadat adalah syarat sahnya iman, sebagaimana telah menjadi ijma’ di kalangan ulama.

                Justru ada perkara penting yang sering terlupakan. Bila menjadi muslim harus dengan masuk agama Islam, tak demikian dengan   kekafiran. Untuk menjadi kafir tidak harus murtad dan berpindah agama   secara formal. Ketika seseorang mengingkari satu ayat saja dari Al-Qur’an secara sadar, cukuplah ia menjadi kafir. Bahkan telah menjadi ijma’ ulama bahwa barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia telah kafir. Yang demikian itu karena berabrti mereka menolak ayat-ayat Allah yang menyatarakn kekafiran mereka. Allah berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۖ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”

(QS. Al-Maidah:72)

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.”

(QS. Al-Maidah:72)

                Memang kaidah tersebut adalah “takfir ‘am” (Kaidah pengkafiran secara global), bukan takfir “Mu’ayyan” (Mengkafirkan secara person). Sebab orang yang dipaksa tersalah, bodoh atau bahkan gila tidak berhak untuk dikafirkan.

                Terakhir, coba tanyakan kepada para penganut pluraslis, jika memang semua agama sama benarnya, bagaimana jika mereka beralih agama saja? Tentu mereka akan menolak. Wallahu a’alam