Kaya, Miskin dan Cita-Cita

Banyak orang yang menyangka kekayaan itu diukur dari harta semata; jika ada yang berpakaian ‘wow’, necis, baru, dan mahal, itulah orang kaya. Apalagi kendaraannya adalah mobil-mobil mewah. Sementara orang miskin digambarkan sebagai sosok yang kekurangan harta, pakaiannya biasa-biasa saja, kemana-mana, hanya memakai sepeda ‘ontel’.

Ya, gambaran semacam ini tidak sepenuhnya salah. Ada benarnya. Tetapi itu mewakili cara berpikir orang yang telah dirasuki oleh cinta dunia. Pasalnya, betapa sering kita melihat orang-orang yang kaya harta, jabatan tinggi dengan gaji yang ‘wah’, tetapi pada hakekatnya mereka adalah orang-orang miskin. Iya, miskin, dan miskin sekali.

Mereka miskin mental. Sebab manusia itu sangat dipengaruhi oleh mentalnya. Bukan hartanya. Orang yang kaya yang bermental rusak, akan terus merasa miskin.

Saudara lihat para koruptor di negeri ini, adakah para koruptor itu orang-orang miskin harta? Semuanya, rata-rata, adalah pejabat teras atas, yang hampir seluruh kebutuhan hidupnya telah dianggarkan oleh negara; rumah dinas, kendaraan, bensin, pengobatan, listrik dan selainnya. Semua telah dijamin, belum lagi gaji yang tinggi.

Di waktu yang sama saudara melihat ulama, para ustadz kampung yang tinggal di pedalaman. Berdakwah dengan kondisi serba kekurangan, mereka tidak pernah mengeluhkan keprihatinan yang mereka alami. Jangankan memanfaatkan harta masyarakat, terkadang justeru mereka yang mendermakan sebagian penghasilannya yang tidak seberapa itu untuk kebutuhan masyarakat.

Ini semua dipengaruhi oleh MENTAL.

Rasulullah SAW telah mengingatkan pentingnya membangun mental yang baik; meluruskan niat karena Allah SWT semata, menjadikan akherat sebagai tujuan akhir.

Sebab, dengan inilah manusia menjadi kaya; kaya jiwa dan mentalnya, selalu bersyukur kehadiran Allah SWT, takut berbuat dholim, apalagi korupsi.

Aspek yang dibangun oleh Islam universal, dunia-akherat. Seseorang tidak diajarkan hanya untuk berani bertanggung jawab di hadapan manusia. Tetapi, yang paling penting, ia harus bertanggung jawab di pengadilan Allah SWT kelak. Inilah rahasia generasi sahabat Nabi Muhammad SAW sebagai generasi terbaik.

Rasulullah SAW bersabda;

مَنْ كَانَتِ اْلآخِرَةُ هَمَّهُ جَـعَـلَ اللهُ غِـنَاهُ فِيْ قَـلْبِهِ وَجَمَعَ لَـهُ شَمْلَهُ وَأَتَـتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِـهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مِا قُدِرِ لَـهُ

 

“Siapa saja yang menjadikan akherat sebagai cita-citanya, maka Allah menaruh kekayaan dalam hatinya, mengumpulkan urusannya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan hina. Dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya maka Allah menempatkan kefakiran dalam hatinya, mencerai-beraikan urusannya, dan ia tidak akan mendapatkan dunia, kecuali yang telah ditaqdirkan untuknya.” (HR. at-Tirmidzi –shohih-)

Inilah revolusi mental hakiki. Yaitu menjadikan dunia sebagai sesuatu yang remeh, dan tak bernilai. Dan menjadikan akherat sebagai obsesi terbesarnya.

Mental ini tidak didapatkan kecuali dengan menerima Islam secara kaafah (sempurna). Baik dalam kehidupan pribadi ataupun berbangsa. Baik untuk mengatur perkara lahiriyah, lebih-lebih sesuatu yang bersifat bathiniyah.

Mustahil didapatkan pada ajaran selainnya, karena ajaran-ajaran agama dan isme di luar Islam, tidak memiliki konsep yang utuh-menyeluruh (universal), tidak paripurna, dan terkadang tidak logis.

Apalagi komunis, percaya tuhan saja tidak. Bagaimana mungkin memiliki konsep keimanan terhadap akherat.*

Oleh : Akrom Syahidm

Sumber : Telgram @AnNajahNews