Lari dari Maksiat Menuju Taubat

Ibnu Qudamah mengisahkan dalam Kitab at-Tawaabiin tentang kisah taubat Malik bin Dinar. Awalnya ia adalah seorang pendosa yang suka mabuk-mabukan, makan riba, merampas hak orang lain, dan menzalimi manusia. Keadaannya agak berubah ketika menikah dan dikaruniai seorang puteri yang diberi nama Fathimah. Ia sangat menyayangi Fathimah. Setiap kali Fathimah bertambah besar, bertambah pula keimanan di hatinya dan semakin sedikit maksiat dilakukannya. Namun keadaan berubah kembali saat puterinya meninggal dunia. Ia belum memiliki kesabaran yang dimiliki seorang mukmin, hingga ia kembali bermaksiat dan bahkan lebih buruk dari sebelumnya.

Hingga suatu malam, setan mempermainkannya dan membisikinya, “Hari ini aku akan mabuk-mabukan dengan mabuk yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.” Ia pun mabuk hingga malam dan terdampar di alam mimpi.

Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah

Malik bin Dinar mengisahkan sendiri:

Di alam mimpi tersebut aku melihat hari kiamat. Matahari telah gelap, lautan telah berubah menjadi api, dan bumi pun telah bergoncang. Pada hari itu manusia berkumpul dalam keadaan berkelompok-kelompk. Sementara itu, aku berada di antara manusia, mendengar penyeru memanggil, “Fulan bin Fulan, kemari! Mari menghadap al-Jabbar.” Aku melihat si Fulan tersebut berubah wajahnya menjadi sangat hitam karena sangat ketakutan. Sampai aku mendengar penyeru itu memanggil namaku, “Mari menghadap al-Jabbar.”

Seluruh manusia yang semula ada disekitarku hilang. Seakan-akan tidak ada seorang pun di padang Mahsyar. Kemudian aku melihat seekor ular besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar kearahku sembari membuka mulutnya. Aku pun lari ketakutan. Saat itu aku mendapati seorang lelaki tua yang lemah. Kepadanya kukatakan, “Selamatkanlah aku dari ular ini!” Dia menjawab, “Aku tidak mampu menolongmu, akan tetapi larilah ke arah sana, mudah-mudahan engkau selamat!”

Aku pun berlari kearah yang ditunjukkannya, sementara ular tersebut mengejar di belakangku. Tiba-tiba ada api dihadapanku. Aku pun berkata, “Apakah aku melarikan diri dari seekor ular untuk menjatuhkan diri ke dalam api?” Aku pun kembali berlari dengan cepat sementara ular tersebut semakin dekat. Aku kembali kepada lelaki tua yang lemah tersebut dan berkata, “Demi Allah, kamu harus menolong dan menyelamatkanku.” Lelaki itu pun menangis karena iba dengan keadaanku seraya berkata, “Aku lemah sebagaimana engkau lihat. Aku tidak mampu melakukan apa-apa, akan tetapi larilah ke arah gunung tersebut, mudah-mudahan engkau selamat!”

Akupun berlari menuju gunung tersebut sementara ular siap mencaplokku. Di atas gunung tersebut aku melihat anak-anak kecil dan aku mendengar semua anak tersebut berteriak, “Wahai Fathimah, tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!”

Selanjutnya aku mengetahui bahwa dia adalah putriku. Aku pun berbahagia karena aku mempunyai seorang putri yang meninggal pada usia tiga tahun yang akan menyelamatkanku dari situasi tersebut. Ia pun memegangku dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk mengusir ular itu. Saat itu aku seperti mayit karena sangat ketakutan. Lalu ia duduk di pangkuanku sebagaimana dulu di dunia.

Dia berkata kepadaku, “Wahai ayah, belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.”

Maka kukatakan, “Wahai putriku, beritahukanlah kepadaku tentang ular itu.”

Dia berkata, “Itu adalah amal keburukanmu. Engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu. Tidakkah engkau tahu wahai ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari kiamat? Dan lelaki yang lemah tersebut adalah amal shalihmu. Engkau telah melemahkannya hingga dia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantumu.”

Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya dan berkata, “Wahai Rabbku, sudah saatnya wahai Rabbku, untuk tunduk hati mengingat-Mu.” Lantas ia mandi dan keluar untuk shalat subuh. Ia segera taubat dan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sejak saat itu, beliau konsisten di jalan taubat. Ia rajin menuntut ilmu dan beribadah. Ia pun termasuk ulama di kalangan tabi’in yang dikenal ilmu dan ibadahnya.

Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah

Itulah contoh orang yang lari kepada Allah, dan selayaknya manusia lari menuju Allah melebihi kencangnya lari seseorang yang dikejar ular menuju tempat selamat. Ketika Allah telah membangunkannya dari kelalaian, atau menyadarkan ia dari dosa-dosa, dan ia telah tahu jalan selamat, selayaknya ia bersegera lari menuju ke arahnya. Tak selayaknya ia menunda niat atau tekad, sebagaimana mustahil seseorang yang dikejar singa atau ular besar menunda untuk menyelamatkan dirinya. Inilah yang disebut dengan fase ‘al-firaar ilallah’, lari menuju Allah yang merupakan salah satu fase dalam manaazilul ‘ubuudiyah, fase-fase dalam mengabdi kepada Allah.

Allah Ta’ala berfirman, “Maka segeralah berlari menuju Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50).

Perintah pada ayat tersebut menggunakan kata al-firar yang berarti berlari. Biasanya digunakan untuk mengungkapkan lari dari sesuatu yang ditakuti atau dari suatu bahaya yang mengancam dirinya.

Ini menggambarkan langkah yang segera, tanpa menunda dan senantiasa fokus dengan tujuan yang bisa menyelamatkan dirinya. Bisa dibayangkan bagaimana seseorang lari dari amukan badai, gelombang tsunami, atau gulungan wedus gembel yang meleleh dari gunung berapi.

Ia tentu akan langsung berlari tanpa menunda sedetik pun. Sebab, seberapa singkat waktu, menentukan keselamatan dirinya. Ia tidak menggubris musibah-musibah kecil seperti duri, goresan benda yang membuat kulitnya lecet, dan lelahnya tubuh yang menghinggapinya. Ia juga tidak akan menerima tawaran uang, harta, atau barang berharga agar ia berhenti dari upaya menyelamatkan diri. Karena semua itu tak ada artinya bila dibandingkan dengan nyawa yang harus diselamatkan.

Begitulah gambaran orang yang berlari menuju Allah. Ia menyadari betapa dosa-dosa akan membahayakan dirinya. Betapa maksiat akan menyeretnya menuju neraka. Karenanya ia segera lari menjauh dari dosa, menuju jalan taat yang akan mengantarkannya ke dalam jannah. Imam ath-Thabari menafsirkan ayat tersebut, “Yakni, berlarilah wahai manusia, dari kemurkaan dan siksa Allah menuju rahmat dan iman kepada-Nya, mengikuti perintah dan menaati-Nya.”

Sebagaimana juga dijelaskan oleh Ibnu al-Jauzi rahimahullah, “Yakni berlarilah dari kekafiran dan kemaksiatan yang menjatuhkan kepada siksa, menuju ketaatan dan keimanan yang mendatangkan pahala.”

Siksa akhirat lebih dahsyat berlipat dari musibah apapun di dunia, termasuk tsunami, banjir, maupun lahar dan ‘wedus gembel’. Karenanya, orang yang lari dari siksa menuju Allah tidak peduli dengan godaan-godaan yang menghalanginya. Baik itu berupa gangguan-gangguan yang menyakitkan, maupun godaan-godaan duniawi yang menyebabkan ia terlena dari bahaya yang mengejarnya. Ia juga lupa dengan tempat selamat yang menjadi tujuannya.

Begitulah Allah perintahkan kita berlari utuk menuju Allah. Berbeda dengan mencari rejeki yang bisa ditempuh dengan berjalan. Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (QS. al-Mulk: 15).