Bagaimana Seorang Muslim Menghadapi Musibah

 

 

 

 

Sesuatu yang kita rasakan tidak sesuai atau tidak enak pada diri kita, itu bisa dikategorikan musibah, termasuk listrik padam, kehabisan uang ini adalah musibah, Nabi Muhammad SAW sendiri ketika mengalami hal tersebut, beliau selalu mengucapkan istirja’ . Kemudian apakah hikmah dan manfaat  yang bisa kita petik ketika kita mendapatkan musibah atau cobaan dari Allah SWT ?

 

Berikut beberapa fadhilah dari musibah :

Musibah Menurut Islam
  • Musibah yang berat (dari segi kualitas dan kuantitas) akan mendapat ganjaran berupa pahala yang besar.
  • Tanda kecintaan Allah pada hamba-Nya, Allah akan menguji hamba-Nya. Dan Allah yang lebih mengetahui keadaan hamba-Nya. Kata Lukman seorang sholih pada anaknya,

يا بني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء

“Wahai anakku, ketahuilah bahwa emas dan perak diuji keampuhannya dengan api sedangkan seorang mukmin diuji dengan ditimpakan musibah.”

  • Barangsiapa yang ridho dengan ketetapan Allah, maka ia akan meraih ridho Allah dengan mendapat pahala yang besar.
  • Siapa yang tidak suka dengan ketetapan Allah, ia akan mendapatkan siksa yang pedih.
  • Cobaan dan musibah dinilai sebagai ujian bagi wali Allah yang beriman.
  • Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia dengan diberikan musibah yang ia tidak suka sehingga ia keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa.
  • Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak. Ath Thibiy berkata,
    “Hamba yang tidak dikehendaki baik, maka kelak dosanya akan dibalas hingga ia datang di akhirat penuh dosa sehingga ia pun akan disiksa karenanya.”  (Lihat Faidhul Qodir, 2: 583, Mirqotul Mafatih, 5: 287, Tuhfatul Ahwadzi, 7: 65)
  • Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan, “Hadits di atas adalah dorongan untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah setelah terjadi dan bukan maksudnya untuk meminta musibah datang karena ada larangan meminta semacam ini.”

Jika telah mengetahui faedah-faedah di atas, maka mengapa mesti bersedih wahai umat Islam? Sabar dan terus bersabar, tawakal kepada Allah SWT, itu solusinya.

 

Tentu saja cobaan dan musibah itu bukanlah suatu pengalaman yang indah untuk dijalani. Namun jika kita mau melihat dari sudut pandang yang lain, ketika kita berada didasar putaran roda, hanya ada 1 arah berikutnya : berputar naik keatas. Sesuatu yang perlu kita syukuri. Justru orang-orang yang diataslah yang perlu ketakutan. Karena dipuncak roda, hanya ada 1 arah : berputar turun kebawah.

Saya pernah bercerita tentang romantisme masa kecil yang tidak begitu indah. Namun hal itu saat ini saya syukuri. Karena hal itu yang membuat saya (meski belum jadi apa-apa) menjadi lebih kuat. Dulu, ketika peristiwa itu terjadi, yang ada cuma rasa iri, dendam, caci maki atas ketidakadilan Tuhan. Namun sekarang saya hanya bisa bicara, Maha Adil wahai Engkau Pemilik Semesta.

Cobaan, musibah dengan kebahagiaan dan kesenangan ibarat sebuah koin mata uang. Mereka adalah kekasih sejati. Mereka bukan ibarat panah yang menjutu ke atas dan kebawah. Bahkan seorang penyair sekelas Kahlil Gibran pernah berkata :

Kesenangan adalah kesedihan yang terbuka bekasnya
Tawa dan airmata datang dari sumber yang sama
Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa
Semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan

Jadi wahai saudaraku, sebesar apa harapan kita atas sebuah kebahagiaan dan kesenangan, artinya kita juga harus siap untuk menerima besarnya cobaan dan kesedihan.

 

Ketika beberapa musibah menimpa kita akhir-akhir ini, banyak kolomnis dan penceramah yang menukil-nukil surat As-Syu’araa ayat 30 tanpa penjelasan yang memadai. Realitas ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan mis-understanding seperti yang selama ini terjadi dalam pemahaman teologi Islam, khususnya yang berkenaan dengan Sifat Iraadah. Bagaimana pun, yang utama untuk diyakini oleh umat adalah bahwa Allah Swt tidak akan pernah berkehendak buruk kepada hamba-hamba-Nya. Ada banyak hal yang perlu kita resapi ketika menghadapi kenyataan yang, dalam pandangan kita nan pendek, pahit.

Pertama, tidak semua kejadian tersebut “pahit” dalam arti yang sesuai dengan pemahaman kita. Seluruh manusia adalah milik Allah SWT, maka Dia berhak mengambilnya sewaktu-waktu, dengan berbagai jalan, baik itu bencana alam, tertabrak mobil, atau kejatuhan bom seperti yang sedang melanda masyarakat Irak. Semua itu adalah bentuk “pemanggilan” Allah Swt terhadap kita. Bentuk pemanggilan yang bermacam-macam itu sudah tidak penting bagi kita, atau bagi-Nya. Bentuk-bentuk itu hanyalah hal “profan” yang, sudah barang tentu, rasional. Karena rumusannya adalah rasionalitas, maka segala macam manusia akan tunduk dalam hukum ini, yakni hukum alam.

Walaupun segala bencana adalah rasional, namun Islam mensyariatkan kepada umatnya untuk ber-istirjaa’, yaitu ketika mendapatkan musibah segera mengucapkan Innaa Lillaahi wa Innaa Ilayhi Raaji’uun, yang berarti “Sesungguhnya kami adalah milik Allah Swt, dan hanya kepada-Nya-lah kami kembali”. Ucapan ini memang terlihat sederhana, namun ia memiliki makna teologis yang sangat mendalam, yakni mengingatkan kita untuk senantiasa ber-Tauhid, ber-Qadhaa dan ber-Qadar. Yang kedua, mengenai hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang ditetapkan (Qadhaa) oleh Allah Swt yang berkenaan dengan rumusan-rumusan dan teori-teori tentang alam. Hukum ini akan berlaku bagi siapa saja yang melanggarnya, baik itu kaum theis maupun atheis, orang saleh maupun durhaka, dan sebagainya.

Dari hukum inilah seluruh aktifitas alam semesta berlangsung, dari yang terkecil-seperti adanya hukum bahwa air akan mendidih pada suhu 100 derajat celcius, siapapun yang memasaknya, baik atheis maupun theis-atau bahkan yang lebih kecil dari kasus itu, hingga yang peristiwa-peristiwa terbesar yang ada di jagad dunia. Itu semua merupakan Qadhaa-secara etimologis berarti hukum atau ketetapan. Dan ketika manusia telah melewati proses Qadhaa itu maka dia akan mengalami apa yang sering disebut sebagai Qadar atau Takdir. Dengan demikian, Takdir adalah suatu hasil proses dari hukum dan ketetapan Allah SWT yang berupa hukum alam-dengan realitas kehidupan yang dijalani manusia.

Hukum alam yang diberlakukan oleh Allah SWT tersebut berbeda dengan hukum Aqidah atau Syariat yang diturunkan oleh-Nya. Hukum alam yang sedang kita hadapi sekarang adalah hukum yang hanya berlaku di dunia fana. Sedangkan hukum Aqidah & Syariat berlaku di dunia dan (untuk kepentingan) akhirat sekaligus. Dengan demikian, dalam hal tertentu, hukum alam tersebut sama sekali tak memiliki kaitan “erat” dengan hukum Aqidah & Syariat. Artinya, hukum alam akan menerkam siapa saja yang melanggarnya, baik itu manusia-saleh, fasik & ateis-hewan dan lainnya. Namun demikian, perlu diperhatikan, bahwasanya korban keganasan hukum alam tak selamanya adalah pelaku dari pelanggaran atas hukum alam tersebut. Bahkan juga bisa dikatakan bahwa proses yang terjadi dalam hukum tak mesti melibatkan manusia. Sebagai contoh adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar angkasa. Demikian pula sebalikya, hukum Aqidah & Syariat tak berkaitan langsung dengan kedatangan hukuman alam.

sumber : http://ponpesgadingmangu.org/apa-itu-musibah-dan-bagaimana-menyikapinya-menurut-ajaran-islam.html