Salah satu tugas penting suami adalah menyamankan hati anggota keluarganya atas berbagai persoalan yang datang menghadang. Bagaimana kesemuanya bisa dihadapi dengan pikiran jernih dan jiwa yang lapang, dalam dua bingkai utamanya, bersyukur ketika bersua dengan semua yang didamba, dan bersabar saat yang ada terasa menyesakkan dada. Selain karena apa yang datang tidak selalu sesuai harapan, juga banyak di antaranya tidak bisa ditolak sebab merupakan takdir Sang Pencipta.
Penguatan akidah, pemaknaan kejadian, pelurusan pemahaman, pembelajaran kepasrahan, hingga pengambilan tindakan yang menyamankan sangatlah penting untuk dilakukan seorang kepala rumah tangga sebagai pemimpin yang bertanggung jawab. Hingga dalam apapun rencana Allah yang menghampiri, keluarga bisa sukses melewati dan mengatasinya.
Syahdan, tahun 7 Hijriah, Rasulullah menaklukkan kaum Yahudi di Khaibar setelah sejumlah pertarungan yang sengit. Dan di antara para tawanan, terselib seorang wanita jelita, anak seorang pembesar Yahudi. Dialah Shafiyah binti Huyay. Wanita lemah lembut yang mencuri perhatian Rasulullah karena memilih Allah, Rasul dan Islam. Hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun membebaskannya dari perbudakan dan menikahinya dengan mahar pembebasan itu. Satu-satunya istri Nabi yang berasal dari keturunan Yahudi.
Menjelang keberangkatan ke Madinah, Rasulullah menghijabi Shafiyah sebab dia sudah menjadi istri Beliau. Kemudian beliau mendekat ke untanya dan menyodorkan paha Beliau yang suci untuk menjadi pijakan kaki Shafiyah menaiki unta itu. Hal yang membuat Shafiyah merasa sangat istimewa, dan menaikkan posisinya di hadapan para shahabat. Dia telah meraih martabat terhormat di sisi suami barunya, Rasulullah!
Namun, sebagai pendatang baru, bukan hal yang mudah untuknya bergabung ke dalam keluarga besar Rasulullah yang sudah utuh dan padu. Selain karena keturunan Yahudi, Shafiyah menjadi istri Nabi yang terakhir sebelum Maimunah. Membawa kelembutan dan keelokan paras yang layak dicemburui, jelas membuat suasana kikuk dan perasaan tidak nyaman. Menyuburkan kecemburuan yang p’ada dasarnya sudah menjadi bawaan perempuan. Hingga Aisyah dan Hafshah berkomentar yang membuatnya sakit hati. ‘Kami lebih mulia di sisi Rasulullah daripada dia (Shafiyah binti Huyay). Kami adalah para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan anak paman beliau’.
Rasulullah mendatanginya dalam keadaan menangis, yang membuat Beliau menanyakan penyebabnya. Shafiyah binti Huyay berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku, setelah sampai kepadaku perkataan Hafshah dan Aisyah (yang membuatku sakit hati), maka aku mengadukan hal itu kepada beliau.” Beliau pun berkata, “Tidakkah kamu mengatakan, ‘Bagaimana kamu berdua bisa lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku (dari keturunan) Harun sedangkan pamanku (dari keturunan) Musa.’” HR. AT Tirmidzi
Amboi, beginilah cara Rasullulah menyamankan hati yang galau, pikiran yang kacau dan hati yang bersedih. Mencari hal-hal yang tidak terduga, kebenaran yang belum disadari, namun efektif untuk meninggikan rasa dan menumbuhkan percaya diri, juga logika berfikir cerdas yang bisa membisukan pemberi komentar negatif. Memunculkan ketentraman jiwa setelah gelisahnya, juga rasa mulia setelah terhinanya. Subhanallah, cara bijak dan dewasa nan terpuji tentang bagaimana memenangkan hati istri menghadapi situasi yang tidak diinginkan terjadi.
Karena kepemimpinan adalah tanggung jawab untuk menyamankan, bukan sikap masa bodoh namun eksploitatif dan meresahkan. Sebab, atas semua pelayanan dan ketaatan yang diberikan para anggota, maka hiburan dan bimbingan agar bisa tenang menghadapi tekanan, sangatlah layak mereka dapatkan. Kepemimpinan yang peduli dan memahami, bukan abai dan egois. Kepemimpinan yang tulus dan jujur, bukan yang lacur dan manipulatif.
Sebab anggota keluarga telah memercayakan masa depan mereka kepada kita sebagai kepala keluarga. Mereka ingin menjalani hari-hari dalam keamanan dan kenyamanan. Mereka tidak ingin tertekan dan larut dalam kesedihan. Dengan hati yang tenang, pikiran dingin dan jernih, juga dada yang lapang. Tidak ada gelisah dan resah. Tak ada air mata yang tumpah. Tak ada ketaatan yang bertepuk sebelah tangan. Atau kehidupan kacau yang jauh dari harapan yang diangankan.
Dan tidak ada cara yang lebih baik daripada meneladani Rasulullah Sang junjungan. Sebaik-baik manusia yang lahir di alam. Yang kemanusiaannya dibimbing wahyu namun menjejak di bumi. Agar para istri tidak menyesal pernah memilih kita dan percaya. Karena bersama kita lah mereka menemukan sakinah.
Sumber : http://www.arrisalah.net/2016/04/nyaman-bersamaku/