Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya memberi kelebihan ketika pelunasan utang. Diantaranya hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah punya utang kepadanya. Suatu ketika Jabir mendatangi beliau di masjid di waktu dhuha. Jabir menceritakan,
فَقَالَ: «صَلِّ رَكْعَتَيْنِ» وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي
Beliau menyuruhku, “Shalatlah dua rakaat.” Lalu beliau melunasi utangnya kepadaku dan beliau memberi tambahan. (Bukhari 443 & Muslim 1689)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, Abu Hurairah menceritakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berutang onta usia tertentu. Kemudian orang itu datang menagihnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta sahabat untuk memberikan onta beliau. Merekapun mencari onta yang seusia dengan onta yang dulu diutang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka tidak menemukannya, selain onta dengan usia yang lebih tua. “
Berikan saja yang itu…” pinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
[1] Tidak dipersyaratkan di awal. Jika ada persyaratan di awal, termasuk riba.
[2] Murni atas inisiatif dan keinginan orang yang berutang. Jika kelebihan ini karena permintaan kreditor (pemberi utang), termasuk riba. Karena keuntungan yang diperoleh dari utang adalah riba.
[3] Tidak menjadi tradisi di masyarakat. Jika memberi kelebihan saat pelunasan menjadi tradisi di masyarakat, statusnya sama dengan dipersyaratkan di depan. Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah, المعروف عرفا كالمشروط شرطا “Apa yang telah menjadi tradisi, maka dia seperti menjadi syarat.” (al-Wajiz fi Qawaid Fiqh al-Kulliyah, hlm. 306)
Salah satu contoh peneripan kaidah ini, seperti yang terjadi dengan Abu Burdah. Ketika beliau di Iraq, beliau bertemu dengan sahabat Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Abdullah bin Sallam menggandeng Abu Burdah, dan beliau menasehatkan,
إِنَّكَ فِى أَرْضٍ الرِّبَا فِيهَا فَاشٍ وَإِنَّ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا أَنَّ أَحَدَكُمْ يَقْرِضُ الْقَرْضَ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا بَلَغَ أَتَاهُ بِهِ وَبِسَلَّةٍ فِيهَا هَدِيَّةٌ فَاتَّقِ تِلْكَ السَّلَّةَ وَمَا فِيهَا
Kamu berada di negeri yang tradisi riba tersebar di masyarakat. Salah satu pintu riba adalah ketika ada orang yang berutang ke temannya sampai batas waktu tertentu, ketika sudah jatuh tempo, dia datang untuk melunasi utangnya dengan membawa sekeranjang hadiah. Maka hindari keranjang itu, dan berikut isinya. (HR. Baihaqi dalam al-Kubro, 11245).
Sekalipun pihak yang memberi utang tidak pernah meminta hadiah tambahan ketika pelunasan utang. Dan sekalipun tidak ada kesepakatan di awal, namun menurut sahabat Abdullah bin Sallam, ini dilarang. Karena keberadaan hadiah saat melunasi utang telah menjadi tradisi di Iraq. Dan apa yang menjadi tradisi, statusnya sama seperti menjadi syarat. Allahu a’lam.
“Sesungguhnya orang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik dalam meluna犀利士 si utang.” (HR. Bukhari 2305, Ahmad 9344 dan yang lainnya).
日本藤素 – /wp:paragraph –>Dalam kasus di atas, onta yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melunasi utangnya, lebih tua dari pada onta yang menjadi utang beliay. Tentu saja harganya lebih mahal. Dan memberikan kelebihan ini bagian dari sikap terpuji dalam melunasi utang. Kemudian beliau memberikan motivasi, “orang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik dalam melunasi utang.” Hanya saja, untuk pelunasan utang dengan kelebihan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,
[1] Tidak dipersyaratkan di awal. Jika ada persyaratan di awal, termasuk riba.
[2] Murni atas inisiatif dan keinginan orang yang berutang. Jika kelebihan ini karena permintaan kreditor (pemberi utang), termasuk riba. Karena keuntungan yang diperoleh dari utang adalah riba.
[3] Tidak menjadi tradisi di masyarakat. Jika memberi kelebihan saat pelunasan menjadi tradisi di masyarakat, statusnya sama dengan dipersyaratkan di depan. Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah, المعروف عرفا كالمشروط شرطا “Apa yang telah menjadi tradisi, maka dia seperti menjadi syarat.” (al-Wajiz fi Qawaid Fiqh al-Kulliyah, hlm. 306)
Salah satu contoh peneripan kaidah ini, seperti yang terjadi dengan Abu Burdah. Ketika beliau di Iraq, beliau bertemu dengan sahabat Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Abdullah bin Sallam menggandeng Abu Burdah, dan beliau menasehatkan,
إِنَّكَ فِى أَرْضٍ الرِّبَا فِيهَا فَاشٍ وَإِنَّ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا أَنَّ أَحَدَكُمْ يَقْرِضُ الْقَرْضَ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا بَلَغَ أَتَاهُ بِهِ وَبِسَلَّةٍ فِيهَا هَدِيَّةٌ فَاتَّقِ تِلْكَ السَّلَّةَ وَمَا فِيهَا
Kamu berada di negeri yang tradisi riba tersebar di masyarakat. Salah satu pintu riba adalah ketika ada orang yang berutang ke temannya sampai batas waktu tertentu, ketika sudah jatuh tempo, dia datang untuk melunasi utangnya dengan membawa sekeranjang hadiah. Maka hindari keranjang itu, dan berikut isinya. (HR. Baihaqi dalam al-Kubro, 11245).
Sekalipun pihak yang memberi utang tidak pernah meminta hadiah tambahan ketika pelunasan utang. Dan sekalipun tidak ada kesepakatan di awal, namun menurut sahabat Abdullah bin Sallam, ini dilarang. Karena keberadaan hadiah saat melunasi utang telah menjadi tradisi di Iraq. Dan apa yang menjadi tradisi, statusnya sama seperti menjadi syarat. Allahu a’lam.