Hadiah, Bahasa Cinta Yang Terlupakan

Islam adalah petunjuk hidup yang mengatur segala aspek kehidupan. Baik itu hubungan antara hamba dengan Allah, maupun hubungan antara sesama hamba. Semuanya diatur untuk menimbulkan keharmonisan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. Lebih dari itu segala petunjuk itu jika diniatkan untuk mencari ridha Allah akan bernilai ibadah.

Begitu mulianya apabila umat ini saling bekasih sayang antara sesamanya. Bangunan umat akan semakin kokoh. Untuk itu Islam datang untuk memberikan solusi. Diantara solusi itu adalah anjuran untuk saling memberikan hadiah. Dalam sebuah hadits dari sahabat abu Hurairah bahwa nabi bersabda,

تَهَادَوْا تَحَابُّوا

“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya akan saling mencintai.” (HR. Bukhari).

Hadiah adalah sebuah pemberian untuk mendatangkan kecintaan, menumbuhkan kasih sayang, menghilangkan kedengkian dan melembutkan hati.

Hadiah merupakan tanda cinta dan bersihnya hati. Ia juga sebagai tanda simpati kepada orang yang ia cintai. Saling memberi hadiah adalah akhlaq mulia yang dianjurkan dalam Islam. Untuk itu, Nabi Muhammad adalah manusia teladan dalam hal ini. Meskipun seorang Rasul, beliau tidak sungkan dalam menerima hadiah.

Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah jika diberi makanan beliau bertanya, ini hadiah ataukah sedekah? jika ini adalah sedekah beliau berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah!.” Sedangkan beliau tidak memakannya, namun jika ini adalah hadiah maka Rasulullah akan memakannya bersama-sama dengan mereka. (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, sahabat Abu Huraiah menuturkan bahwa Nabi bersaba,

تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ وَلَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ

“Hendaknya kalian saling memberikan hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan sifat benci dalam dada, dan janganlah seseorang meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya secuil kaki kambing.” (HR. Tirmidzi).

Memang, hadiah adalah sarana untuk menjernihkan antara dua orang yang sedang kurang harmonis. Tatkala salah satu memberi hadiah kepada yang lain maka masalah bisa terselesaikan. Bahkan jalinan antara keduanya semakin erat setelah sebelumnya kurang harmonis.

Dalam dakwah betapa banyak orang yang semula memusuhi dakwah menjadi lunak bahkan menjadi pendukung dengan akhlaq karimah yang kita berikan kepadanya. Salah satunya dengan hadiah yang kita berikan.

Dalam sebuah riwayat dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda, “Hadirilah orang yang mengundang, janganlah kalian menolak hadiah dan janganlah kalian memerangi kaum muslimin.” (HR. Ahmad).

Dalam menerima hadiyah, Rasululah tidak membedakan-bedakan antara sedikit dan banyak. Beliau tetap menerima hadiah meskipun sedikit.

Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah bersabda,

لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ

“Seandainya aku diundang untuk jamuan makan sebesar satu paha depan (kambing) atau satu paha belakangnya, pasti aku penuhi dan seandainya aku diberi hadiah makanan satu paha depan (kambing) atau satu paha belakang pasti aku terima.” (HR. Bukhari).

Seringkali rasa bakhil muncul tatkala ingin memberi hadiah kepada seseorang. Asumsi bahwa dengan memberikan hadiah akan mengurangi jatah rezeki yang sudah menjadi bagiannya. Belum lagi munculnya perasaan jikalau hadiah yang kita berikan belum tentu diterima dan seabrek praduga-praduga yang lainnya. Dengan melatih jiwa untuk memberikan hadiah meskipun sedikit akan menjadi pembiasaan bagi jiwa untuk berderma.

Dalam sebuah hadits Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai wanita-wanita muslim, janganlah seorang budak wanita menganggap remeh memberi hadiah budak wanita lainnya sekalipun hanya sebesar kubangan karena diinjak kambing.” (HR. Bukhari).

Maksud dari hadits ini adalah Nabi mendorong para muslimah untuk memberi hadiah kepada budak-budaknya meskipun dengan sesuatu yang amat remeh. Karena sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Ini menunjukkan rasa cinta yang dalam kepada sesama.

Namun jika kita terpaksa menolak sebuah pemberian karena beberapa pertimbangan hal itu tidak mengapa. Asalkan diberikan penjelasan kepada yang memberi dengan penjelasan yang jelas supaya tidak menimbulkan prasangka yang tidak baik. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits, “Dari Abdullah bin Abbas dari Ash-Sha’bi bin Jatsamah Al Laitsiy bahwa dia (Ash-Sha’bi) memberi hadiah kepada Rasulullah berupa seekor keledai yang liar saat beliau berada di Abwa’ atau di Waddan. Lalu Beliau mengembalikan hadiah itu kepadanya. Ketika beliau melihat apa yang ada di wajahnya, Beliau berkata, ‘Kami tidak bermaksud menolak hadiah darimu, namun ini tidak lain karena aku sedang berihram’.” (HR. Bukhari).

Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits di atas terdapat penjelasan untuk tidak menerima hadiah bagi yang tidak pantas untuk menerimanya.” Misalkan kita diberi makanan oleh seseorang sedangkan kita masih mampu, sedangkan tetangga kita dalam kondisi kelaparan. Maka tidak apa-apa kita menolak pemberian tadi kemudian menunjukkan kepada orang yang lebih berhak.

Akhirnya, marilah kita melatih jiwa kita untuk saling memberikan hadiah kepada siapapun dengan mengharap ridha Allah. Harapannya melalui hadiah meskipun remeh akan mempererat jalinan ukhuwah Islamiyah. Memang hadiah adalah perekat hati yang paling indah. Wallahu a’lam.

sumber: http://www.arrisalah.net/