Masuk Surga Bermodal Cinta

“Diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, seorang lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perihal hari kiamat, “Kapankah datangnya hari kiamat?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Laki-laki tersebut menjawab, “Belum ada, selain (modal) kecintaanku kepada Allah dan Rasul-Nya.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْت

“Engkau bersama yang kamu cintai.” (HR al-Bukhari )

 

Bermula dari Cinta, Berakhir di Surga atau neraka

Berita dari Nabi ini menjadi penyejuk hati bagi orang-orang mukmin yang tepat dalam menambatkan cintanya. Namun sekaligus juga menjadi tamparan keras dan ancaman bagi orang-orang yang keliru dalam mengalamatkan cinta.

Bagi insan mulia semisal Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, ini sungguh berita yang sangat menggembirakan, hingga beliau berkata, “Tiada yang lebih menggembirakan hati kami daripada hadits Rasulullah, “Seseorang bersama yang dia cintai.” Beliau juga men

gatakan, “Aku mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap dapat berkumpul bersama mereka dengan bekal kecintaanku kepada mereka, kendati aku belum bisa beramal sebagaimana mereka beramal.”

Dengan modal cinta bisa ke surga? Bahkan bisa berkumpul dengan yang dicintainya di surga? Ya, begitulah. Akan tetapi dengan cinta pula seseorang tersungkur ke dalam neraka. Tergantung kepada apa atau siapa ia memberikan cintanya dan bagaimana ia mengekspresikan cintanya.

Hadits tersebut sekaligus menjadi tamparan keras bagi mereka yang mencintai, membanggakan, menyanjung, ataupun mengidolakan manusia dengan tipe maghdhubun ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai Allah) dan dhaallun (orang-orang yang sesat). Atau mencintai orang-orang yang memiliki karakter dan perilaku calon penghuni neraka. Karena kecintaan itu akan menempatkan antara yang mencinta dan dicinta di tempat yang sama.
Hanya saja kebersamaan tersebut bukan lagi untuk saling mencintai dan menyanjung.  Tapi sebagai musuh satu sama lain,

 {اْلأَخِلآءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ  {67

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf:67)

Jika di dunia ini mereka mengidolakan, menyanjung, membela dan mengekor para pengumbar syahwat dan dosa, maka kebersaman di akhirat kelak bukan lagi antara pecinta dan yang dicintai, bukan saling memuji satu sama lain. Bahkan orang-orang yang mencintai, mengikuti dan membeo itu akan mengumpat dan menuntut menuntut agar orang-orang yang ditiru itu disiksa dua kali lipat dari dirinya,

 وَقَالُوا رَبَّنَآ إِنَّآ أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ 67 رَبَّنَآ ءَاتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا 68

 “Dan mereka berkata: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan Kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (QS. al-Ahzab:67-68)

 

Cinta memang luar biasa. Ia menjadi unsur pendorong manusia untuk berbuat, pemicu untuk bergerak dan motivasi untuk berusaha dan mencurahkan pengorbanan. Seberapa hebat semangat dan pengorbanan seseorang sangat bergantung kepada kekuatan cinta yang bersemayam di hatinya. Demi cinta, seseorang rela mengorbankan harta, mencurahkan tenaga, dan menghabiskan waktunya. Bahkan karena cinta pula terkadang seseorang rela mempertaruhkan kebahagiaannya demi yang dicintainya. Betapa dahsy犀利士
atnya efek cinta, hingga dampaknya tak hanya berhenti di dunia. Berpisahnya satu demi satu manusia saling mencintai satu sama lain di dunia, bukanlah akhir dari perjalanan cinta. Masih ada pengadilan cinta di akhirat, di mana seseorang akan dikumpulkan bersama yang ia cinta
Cinta itu Memiliki Tanda

Alangkah tepatnya perbekalan yang dipersiapkan oleh laki-laki yang bertanya kepada Nabi perihal hari Kiamat itu, dan alangkah indahnya jawaban Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi sebab seseorang masuk jannah.

Namun tentu saja cinta yang dimaksud bukan hanya pepesan kosong, atau ungkapan basa-basi tanpa arti maupun konsekuensi. Seperti yang diungkapkan seorang tabi’iyat, Rabi’ah Al-‘Adawiyah, “Engkau mendurhakai Rabbmu, tapi mengaku cinta kepada-Nya. Itu adalah tindakan janggal dan aneh. Jika saja cintamu memang tulus kepada-Nya, pasti engkau menaati-Nya, karena sesungguhnya pecinta itu pasti patuh kepada yang dicintainya.” (Mukhtashar Syu’abul Iman).

Orang yang mencintai pastilah berusaha mendapat perhatian kekasihnya, pastilah ia akan memperturuti kehendak kekasihnya, berusaha memerolah ridhanya, dan takut mengecewakan dan membuat marah kekasihnya. Adapun orang-orang yang beriman, ‘asyaddu hubban lillah’, amat sangat cinta-Nya kepada Allah. Maka dia akan memprioritaskan keridhaan Allah di atas keridhaan siapapun, dan tidak ada yang lebih ditakuti selain dari jauhnya antara dirinya dengan Allah dan  datangnya murka Allah atasnya.

Cinta seorang hamba kepada Khaliq itu dilandasi karena pengetahuan dan kesadaran bahwa Allahlah tambatan yang tepat untuk melabuhkan cintanya. Al-Qadhi berkata, “Cinta adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang dipandang memiliki sisi kesempurnaan padanya. Maka ketika seorang hamba mengetahui bahwa kesempurnaan hakiki tidak dimiliki kecuali oleh Allah, dan bahwa sisi keistimewaan yang ia lihat pada dirinya sendiri atau orang lain adalah semata-mata dari Allah, maka cintanya hanya tertuju kepada Allah dan karena Allah. Perwujudan dari cinta itu adalah kemauan kuat untuk senantiasa mentaati-Nya. Kareananya, cinta kepada Allah itu diartikan dengan niat untuk taat kepada-Nya dan konsisten dengan sunnah rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam.

Apa yang diungkapkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga menunjukkan, bahwa mencintai orang-orang shalih yang taat kepada Allah Ta’ala adalah sebab dimasukkannya seseorang ke dalam jannah bersama yang ia cintai.

Ini sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

“Seseorang akan (dikumpulkan) bersama yang ia cintai).” (HR Bukhari)

Kecintaan yang dimaksud adalah mahabbah diiniyyah., yakni mencintai karena agama dan keyakinan. Maka barangsiapa mencintai orang-orang shalih karena keshalihannya, atau karena tanda-tanda ketakwaan dan kebagusan agamanya, maka ada peluang kelak akan disatukan oleh Allah di jannah-Nya. Begitupun bagi orang yang mencintai orang kafir karena kekafirannya. Orang fajir karena kefajirannya, maka hal itu akan berpotensi bersatunya keduanya di dalam neraka.

Ibnu Bathal rahimahullah dalam Syarah Bukhari berkata, “Penjelasan makna dalam hadits ini, bahwa ketika seseorang mencintai orang shalih, dan dia tidak mencintainya melainkan karena ketaatannya kepada Allah, maka cinta itu adalah urusan hati dan keyakinan, Allah akan memberikan pahala kepadanya pahala orang shalih. Karena niat adalah intinya, sedang amal itu mengikuti, dan Allah memberi karunia kepada siapa yang ia kehendaki.” (Syarh shahih Bukhari, Ibnu Bathal)

Hanya saja, cinta yang tulus  akan menghadirkan konsekuensi amal dan perilaku. Jika seseorang mencintai para sahabat radhiyallahu ‘anhum, tentu ia akan berusaha meneladani akhlak dan perilaku mereka. Dengan ketulusan cinta seperti ini, maka seseorang akan dipertemukan dengan orang atau kaum yang ia citai, meskipun ia belum pernah bertemu saat di dunia. Adapun orang yang mencintai orang shalih, namun tak ada upaya untuk meneladani dalam keshalihan maka cintanya imitasi alias palsu, dan sekaligus tidak mendatangkan implikasi yang positif pula.

Patut disimak apa yang disampaikan oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ nya ketika menukil perkatan Imam Hasan al-Bahsri, “Wahai anak Adam, jangan sampai kamu terbuai oleh kalimat al-mar’u ma’a man ahabba, seseorang bersama yang ia cintai. Karena engkau tidak akan berjumpa dengan orang-orang mulia yang berbakti (al-abraar) kecuali dengan berusaha beramal seperti mereka. Bukankah orang-orang Yahudi dan Nashrani juga mengklaim cinta kepada para Nabi-nabi mereka? Namun mereka tidaklah bersama para Nabi itu. Ini menjadi isyarat bahwa dengan hanya bermodal pengakuan tanpa merealisasikan sebagaian amal atau seluruhnya, maka pengakuan itu tidaklah bermanfaat.”

Begitupun mencintai orang-orang yang ditemui di dunia. Kecintaan yang bermanfaat dan menjadi modal untuk masuk jannah adalah kecintaan karena Allah, mencintai orang lain dalam bingkai ketaatan kepada Allah. Bukan karena persamaan suku atau asal wilayah, bukan pula karena kesamaan hobi atau kesukaan. Bukan pula karena unsur harta maupun kedudukan. Dengan cinta itu saling menghasung dan menguatkan tekad untuk senantiasa taat kepada Allah.

Inilah kecintaan yang merupakan ‘autsaqu ural iman’, ikatan iman yang paling kuat. Cinta yang menjadi sebab diperolehnya naungan Allah di makhsyar, di hari yang tiada naungan Allah. Dan juga cinta yang akan mendudukkan pemiliknya ke derajat mulia di jannah, hingga para Nabi dan syuhada’ takjub dengan kedudukan mereka, sebagaimana kabar yang diberitakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits-haditsnya. Semoga Allah anugerahkan kepada kita kecintaan kepada-Nya dan karena-Nya. Aamiin.

 

Oleh Ust Abu Umar Abdillah
Sumber: http://www.arrisalah.net