Perbekalan Akhirat

Satu hal penting yang harus selalu kita renungkan bersama dalam akal pikiran dan hati kita semua bahwa seorang hamba sejak dia dilahirkan ke muka bumi ini, pada hekakatnya sedang berkelana, merantau dan mengembara menuju akherat yang merupakan kampung aslinya. Waktu terus berjalan, setiap pergantian waktu pada hekakatnya semakin dekat ajalnya dan dia akan sampai pada tujuan perjalanan tersebut.

Rasululullah pernah memberikan gambaran menawan tentang kehidupan dunia, Beliau berkata: “Apa peduliku dengan dunia, Tidaklah aku di dunia ini melainkan seperti pengembara yang beristirahat sejenak di bawah pohon, lalu dia akan pergi meninggalkannya”.(HR. Tirmidzi dan ibnu majah dalam sunannya).

Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sikap yang benar dalam kehidupan di dunia ini, dengan sabdanya: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan” (HR al Bukhâri, no: 6053).

Jika kita di dunia ini ketika akan melakukan perjalanan pasti membutuhkan bekal dalam perjalanan, baik dengan menyiapkan makanan, pakaian, HP dan uang serta bekal-bekal  penting lainnya. Lantas, bagaimana dengan perjalanan kita menuju akherat, tentu lebih membutuhkan bekal bukan?! Umar bin Abdul Aziz mengatakan: “Setiap perjalanan pasti butuh bekal, maka berbekalah untuk perjalanan kalian di dunia ini menuju akhirat”.(kitab sirah umar libnil jauzi,hal: 232) Tanyakan pada hati kita masing-masing: Lantas bekal apakah yang sudah kita siapkan dalam perjalanan menuju akherat ini?! Ada beberapa bekal yang perlu sekali kita siapkan sejak sekarang untuk perjalanan menuju kampung akhirat, diantaranya:

pertama : Iman dan Tauhid

Ini merupakan bekal yang paling utama karena ia adalah kunci semua kebahagian dan kebaikan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman: “Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak menyekutukanNya maka dia akan masuk surga.(Q.S.Alkahfi : 110).

Ramadhan mengajarkan kepada kita arti pentingnya keikhlasan dalam beribadah yang merupakan pondasi semua amal ibadah seorang hamba. Dalam ibadah puasa secara khusus Nabi telah bersabda:

“Barangsiapa yang puasa di bulan ramadhan karena iman dan mengharap pahala Alloh, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Para pembaca yang budiman, sebagaimana kita berpuasa hanya untuk Allah, maka demikian juga berbagai macam ibadah lainnya, kita serahkan hanya kepada Allah semata, sholat, puasa, doa, menyembelih dan lain sebagainya,, bukan kepada selain Allah baik para wali, kuburan dan sebagainya. Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in.

Inilah hakekat tauhid yang karenanya Allah menciptakan kita, mengutus para nabi dan rasulNya, menurunakan kitab-kitabNya, menciptakan surga dan neraka, bahkan Al-Qur’an diawali dengan surat al-Fatihah yang berisi tauhid dan diakhiri dengan surat an-Nas yang berisi kandungan tauhid sebagai bukti bahwa Al-Quran, intisarinya adalah tauhid dan sebagai pelajaran bagi kita bahwa sebagaimana kita membuka hidup ini dengan tauhid maka marilah kita menutup hidup kita ini dengan tauhid.

Kedua: Ilmu

Dalam berkelana dan mengembara dalam perjalanan ini butuh bekal ilmu yang membuahkan keyakinan. Coba kita bayangkan jika kita pergi menuju suatu tujuan tanpa mengetahui alamat yang kita tuju, rute perjalanannya dan sebagainya, apa yang terjadi? Mungkin kita akan tersesat, atau gampang ditipu orang atau minimal terombang-ambing dalam kebingungan. Demikian pula dalam perjalanan menuju akhirat, jika kita tidak memiliki lentera ilmu agama, maka akan tersesat dijalan, mudah ditipu orang dan terombang-ambing dalam kebingungan. Oleh karena itu salah satu jerat Iblis yang paling utama adalah mematikan lentera bagi manusia dengan memalingkan mereka dari mempelajari ilmu agama.

Maka bersemangatlah wahai saudara/i ku memperbanyak bekal ilmu agama yang dibangun di atas Al-Qur’an dan sunnah karena ia akan menjadi lentera yang menyinari perjalananmu hingga ke surga yang penuh dengan kenikmatan. “Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka menuntut ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga”. (HR. Muslim). Kita sangat membutuhkan ilmu agama sebagaimana badan kita membutuhkan makanan dan minuman. Ingatkah kita saat ketika berpuasa, badan kita terasa lemas, kita selalu menanti dan menunggu gema adzan maghrib untuk mengakhiri lemasnya tubuh kita dengan segera memakan makanan dan meminum minuman. Demikian juga hati ini membutuhkan siraman ilmu agama, lebih-lebih harus kita ingat bahwa amal hamba itu tidak diterima di sisi Allah kecuali jika memenuhi dua syarat. Yaitu Ikhlas mengharapkan pahala Allah dan ittiba’ yaitu meneladani sunnah Rasulullah bukan ibadah dengan perasaan dan hawa nafsu sendiri.

Ketiga: Amal Shalih

Amal shalih adalah bekal utama yang bisa diandalkan untuk suatu hari yang tidak bermanfaat harta, jabatan dan anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Bulan Ramadhan mengajarkan kepada kita untuk berpacu bersama dan berlomba-lomba untuk panen pahala sebab telah terbentang luas pintu-pintu surga dan dilipatgandakan pahala baik puasa, tarawih, baca Qur’an, sedekah, doa, dan lain sebagainya. Maka bersemangatlah untuk beramal kebajikan dan jangan pernah meremehkannya sekecil apapun karena kita tidak tahu amal manakah yang diterima di sisi Allah, siapa tahu amal yang kita anggap remeh justru itu yang menjadikan faktor kita meraih ampunan Allah dan surgaNya seperti hadir di majlis ilmu, salam dan jabat tangan, membantu orang, menyingkirkan gangguan dari jalan dll.Allah berfirman:

“Barangsiapa yang melakukan amal kebajikan sekecil apapun maka dia akan melihatnya”. (QS. Az-Zalzalah: 7).

Tidakkah kita ingat kisah Nabi tentang seorang wanita pelacur di Bani Israil yang diampuni oleh Allah hanya gara-gara member minum anjing yang kehausan?!

Keempat; Taqwa

Taqwa adalah sebaik-baik bekal yaitu dengan selalu melaksankan perintah dan menjauhi larangan Allah kapanpun dan dimanapun serta bagaimanapun kondisinya.Tinggalkanlah dosa wahai saudaraku karena dosa adalah racun yang menjadikanmu selalu dirundung kegelisahan dan kesengsaraan. Allah berfirman:

“Dan berbekallah kalian, maka sesungguhnya bekal yang paling baik adalah ketakwaan”.(QS. Al-Baqarah:  197) Meraih derajat taqwa merupakan tujuan pokok ibadah puasa.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Mungkin kita bertanya dalam hati sendiri: Sudah sekian kali kita berpuasa namun mengapa hingga kini nilai-nilai ketaqwaan itu tetap tipis tiada bertambah?! Apa gerangan yang salah dengan diri kita?!! Jika dalam puasa kita bisa meninggalkan makan, minum, jima yang itu hukum asalnya adalah boleh-boleh saja, lantas Bagaimana dengan sesuatu yang memang hukum asalnya adalah terlarang oleh agama?! Bukankah kita lebih harus meninggalkannya?!! Ingat, puasa bukan sekedar menahan nafsu dari makan dan minum semata, tetapi menahan seluruh anggota tubuh kita dari keharaman dan dosa. Seorang yang berpuasa dia tidak akan  berbuka sekalipun dia berada di kamar seorang diri, sekalipun tidak ada manusia yang mengetahuinya, karena merasa takut dan merasa diawasi oleh Allah dalam semua gerak-geriknya.

Demikianlah hendaknya kita dalam setiap saat merasa takut dan diawasi oleh Allah di manapun kita berada dan kapanpun juga, terlebih pada zaman kita ini dimana alat-alat kemaksiatan begitu mudah dikomsumsi, maka ingatlah bahwa itu adalah ujian agar Allah mengetahui siapa di antara hambaNya yang takut kepadaNya.

Andai saja para pemimpin dan petinggi negeri ini meraih pelajaran ini, maka kita tidak akan banyak mendengar kasus kriminal KKN yang melilit negara dan merajalela diberitakan di media setiap malam dan pagi, karena dia merasa diawasi oleh Allah yang maha luas pengawasannya bukan takut dengan KPK semata. Dulu  ‘Iyadh bin Ghonam (gubernur khalifah Umar) mengatakan: “Demi Allah, seandainya aku digergaji, itu lebih aku sukai daripada aku berkhianat dengan seperak uang sekalipun”. (Shifat Shofwah 1/277 oleh Ibnul Jauzi).

Kelima: Sabar

Bekal ini sangat penting dalam perjalanan menuju kampung akherat karena perjalanan ini panjang, melelahkan dan banyak rintangan yang menghadang; macet, sumpek, capek, kecopetan, kerusakan kendaraan dan lain sebagainya. Rasulullah pernah bersabda:

“Safar adalah bagian dari siksaan”.( HR.Bukhari :1710 )

Ini safar di dunia, maka demikian juga safar di akherat penuh dengan ujian dan cobaan. Maka marilah kita hadapi semua ujian dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Perumpamaan seorang mukmin ibarat pohon, senantiasa angin menerpanya, Demikian pula cobaan senantiasa senantiasa menerpa seorang mukmin.

Sudahkah Engkau Mempersiapkan Hari Esok?

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr: 18).

Qatadah mengatakan bahwa hari kiamat itu dekat. Jadi hari esok yang dimaksud dalam ayat adalah kiamat. (Tafsir Ath Thobari, 14: 65).

Ibnu Jarir Ath Thobari menafsirkan ayat di atas, “Lihatlah apa yang akan terjadi di hari kiamat kelak dari amalan-amalan yang diperbuat manusia. Apakah amalan shalih yang menghiasi dirinya ataukah amalan kejelekan yang berakibat jelek di akhirat?”

Tentang ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Haasibu anfusakum qobla an tuhaasabu (artinya: hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab). Lihatlah amalan shalih apa yang telah kalian persiapkan sebagai bekal untuk hari akhirat dan menghadap Allah Rabb kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 235).

Hendaklah mereka perhatikan kebaikan dan keburukan yang mereka akan peroleh kelak. Hendaklah mereka memikirkan apa buah yang diperoleh dari amalan mereka kelak di hari kiamat. Apakah akan menuai hasil yang baik ataukah malah akan membahayakan karena kejelekan yang dilakukan.

Jika seseorang menjadikan akhirat sebagai tujuan di hadapannya dan jadi tambatan hati, terus bersungguh-sungguh untuk menempuh jalan menuju akhirat. Bersungguh-sungguhlah dengan melakukan banyak amalan yang dapat mengantarkan pada akhirat. Lalu bersihkanlah jalan tersebut dari berbagai duri dan rintangan.

Jika mereka pun yakin, Allah itu Maha Tahu terhadap apa yang mereka kerjakan, Allah Maha Tahu terhadap apa yang mereka sembunyikan. Allah tidak mungkin lalai dari memperhatikan mereka. Dari sini, semestinya kita semakin serius dan sungguh-sungguh dalam beramal.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 853).

Pelajaran penting yang bisa kita ambil adalah jadikan akhirat sebagai tujuan. Begitu pula jika kita diberi karunia materi dan rezeki yang melimpah, jadikanlah itu sebagaimana perantara menuju kebaikan dan bekal menuju alam akhirat. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang niatnya untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya hanya untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7: 213)

Semoga kita semakin memperhatikan amalan kita sebagai bekal di akhirat kelak. Wallahu a’lam.[]