يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلُُ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَآءُ إِذَا مَادُعُوا وَلاَ تَسْئَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبُُ وَلاَ شَهِيدُُ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقُُ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمُُ {282}* وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمُُ قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمُُ {283}
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan jangan-lah dia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 282-283).
_________________________________
Tafsir Ayat :
(282) Ayat-ayat ini meliputi petunjuk Allah kepada hamba-hambaNya dalam muamalah di antara mereka yaitu pemeliharaan hak-hak mereka dengan cara-cara yang bermanfaat dan kemaslahatan yang tidak ada ahli-ahli fikir mampu memberikan sarannya yang lebih baik dan lebih sempurna darinya, karena di dalamnya banyak sekali faedah-faedahnya, di antaranya;
1. Bolehnya muamalah dalam bentuk hutang piutang baik berupa hutang-hutang salam (suatu model muamalah perdagangan) atau pembelian yang harganya ditangguhkan, semua itu boleh dilakukan. Karena Allah ta’ala telah mengabarkannya tentang kaum mukminin, dan apapun yang Allah kabarkan tentang kaum mukminin maka sesungguhnya hal itu termasuk konsekuensi keimanan dan telah ditetapkan juga hal itu oleh Allah Yang Mahakuasa.
2. Wajibnya menyebutkan tempo dalam seluruh hutang-piutang dan pelunasan penyewaan.
3. Bahwasanya apabila tempo itu tidak diketahui maka itu tidak dibolehkan, karena itu (sangat rentan) tipu dayanya dan berbahaya, maka hal itu termasuk dalam perjudian.
4. Allah ta’ala memerintahkan untuk mencatat hutang piutang. Perkara satu ini terkadang menjadi wajib yaitu apabila wajib memelihara hak seperti milik seorang hamba yang wajib atasnya perwalian contohnya harta anak yatim, wakaf, perwakilan, amanah, dan terkadang juga mendekati wajib sebagaimana bila hak itu semata-mata milik seorang hamba. Dan terkadang juga lebih berat kepada wajib dan terkadang lebih berat kepada sunnah, sesuai dengan kondisi yang dituntut untuk masalah itu. Dan pada intinya pencatat itu adalah merupakan perangkat yang paling besar dalam menjaga muamalah-muamalah yang tertangguhkan karena rentan terjadi kelupaan dan kesalahan, dan sebagai tindakan pencegahan dari orang-orang yang tidak amanah yang tidak takut kepada Allahta’ala.
5. Perintah Allah ta’ala kepada juru tulisnya untuk menulis antara kedua pihak yang bermuamalah itu dengan adil, ia tidak boleh condong kepada salah satu pihak karena faktor keluarga misalnya atau selainnya, atau memusuhi salah satunya karena suatu dendam dan semacamnya.
6. Bahwasanya penulisan antara kedua belah pihak yang bermuamalah adalah di antara amal-amal yang paling utama dan tindakan kebaikan kepada keduanya. Dalam pencatatan itu mengandung pemeliharaan hak-hak keduanya dan melepaskan tanggung jawab dari keduanya seperti yang diperintahkan oleh Allah. Maka hendaklah juru tulis mencari pahala (dengan profesinya) di antara manusia dengan perkara-perkara ini agar mendapat keberuntungan dengan balasan baiknya.
7. Bahwasanya juru tulis harus mengetahui keadilan dan terkenal dengan keadilan, karena bila dia tidak mengerti keadilan, pastilah dia tidak akan bisa mewujudkannya, dan apabila keadilannya tidak diakui oleh orang banyak dan tidak diridhai mereka maka pastilah pencatatan juga tidak akan diakui, dan maksud yang diinginkan tidak akan terwujud yaitu pemeliharaan hak.
8. Bahwasanya kesempurnaan dari pencatatan dan keadilan dalam muamalah itu adalah bahwa juru tulis itu ahli dalam merangkai kata dan membuat kalimat yang sesuai dalam segala macam muamalah sesuai dengan jenisnya, dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat dalam hal ini memiliki peran yang cukup besar.
9. Bahwasanya pencatatan itu di antara nikmat-nikmat Allah terhadap hamba-hambaNya, di mana urusan-urusan agama dan urusan-urusan dunia mereka tidak akan lurus kecuali dengannya. Dan bahwasanya barangsiapa yang diajarkan oleh Allah penulisan, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadanya keutamaan yang besar, dan menjadi kesempurnaan syukurnya terhadap nikmat Allah ta’ala itu, agar dia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hamba dengan penulisannya dan dia tidak boleh menolak untuk menulis. Karena itu Allah berfirman, (وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ) ;”Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya“.
10. Bahwasanya apa yang ditulis oleh juru tulis itu merupakan pengakuan dari orang yang menanggung hak apabila dia mampu merangkai kata tentang hak yang wajib atas dirinya tersebut. Namun apabila ia tidak mampu akan hal itu karena umurnya yang masih kecil atau kebodohannya, ketidak warasannya, kebisuannya, atau ketidakmampuannya, maka walinya harus melakukan untuknya, dan walinya itu sebagai wakil dirinya dalam hal tersebut.
11. Bahwasanya pengakuan itu adalah jalan yang paling besar dalam menetapkan suatu hak, di mana Allah ta’ala memerintahkan kepada juru tulis untuk menulis apa yang diejakan oleh orang yang menanggung hak orang lain.
12. Penetapan perwalian bagi orang-orang yang tidak mampu seperti anak kecil, orang gila, orang bodoh dan semacamnya.
13. Bahwasanya seorang wali itu posisinya sama seperti posisi orang yang diwalikannya dalam segala pengakuannya yang berkaitan dengan hak-haknya.
14. Bahwasanya orang yang anda percaya dalam suatu muamalah dan anda serahkan urusan itu kepadanya maka perkataannya dalam perkara itu dapat diterima, karena dia adalah pengganti diri Anda, karena apabila wali itu untuk orang-orang yang tidak mampu menempati posisi mereka, maka orang yang anda jadi-kan sebagai wali dengan pilihan anda sendiri lalu anda serahkan urusan itu kepadanya adalah lebih utama diterima dan diakui perkataannya dan didahulukan daripada perkataan Anda sendiri ketika terjadi perselisihan.
15. Bahwasanya diwajibkan atas orang yang menanggung hak orang lain, apabila mendiktekan kepada juru tulis agar bertakwa kepada Allah dan tidak berlaku curang terhadap hak yang ditanggungnya. Ia tidak mengurangi jumlahnya atau sifatnya, atau syarat di antara syarat-syaratnya atau ukuran di antara ukuran-ukurannya. Akan tetapi ia harus mengakui setiap hal yang berkaitan dengan hak tersebut sebagaimana juga hal itu wajib atas orang lain yang menanggung hak dirinya. Barangsiapa yang tidak melaksanakan itu maka ia termasuk orang-orang yang curang lagi mengurangi.
16. Wajib mengakui hak-hak yang nampak dan hak-hak yang tersembunyi, dan bahwa hal itu adalah di antara karakter terbesar ketakwaan, sebagaimana meninggalkan pengakuan adalah di antara pembatal ketakwaan dan yang menguranginya.
17. Petunjuk untuk mengadakan saksi dalam jual beli. Apabila dalam hal hutang piutang, maka hukumnya adalah hukum penulisan sebagaimana yang telah lalu. Karena penulisan itu adalah penulisan kesaksian. Apabila jual beli itu adalah jual beli tunai, maka seyogyanya ada saksi padanya dan tidak berdosa bila meninggalkan penulisan karena banyaknya dan adanya kesulitan untuk menulis (semua kasus yang ada).
18. Petunjuk untuk mengadakan saksi dua orang laki-laki yang adil, namun apabila tidak memungkinkan atau tidak ada atau sulit, maka boleh satu laki-laki dan dua wanita. Itu mencakup segala macam muamalah, transaksi obligasi dan transaksi utang piutang dengan segala hal yang berkaitan dengannya, seperti syarat-syarat atau dokumen-dokumen atau semacamnya.
Apabila dikatakan bahwa terdapat riwayat shahih dari Rasulullahshallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memutuskan dengan satu saksi saja di sertai sumpah ( Dikeluarkan oleh Muslim no.712 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, lihat untuk tambahan faedah“al-Irwa'” 2683. ), sedangkan ayat yang mulia ini tidak menunjukkan kecuali hanya saksi dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua wanita? Dapat dijawab, ayat yang mulia ini mengandung petunjuk Allah kepada hamba-hambaNya untuk menjaga hak-hak mereka, oleh karena itu Allah mendatangkan padanya jalan yang paling sempurna dan yang paling kuat, dan ayat ini juga tidak mengandung hal yang meniadakan (menafikan) apa yang disebutkan oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan menetapkan satu saksi yang disertai sumpah. Masalah memelihara hak-hak, pada awal-awalnya Allah mengarahkan hambaNya untuk berhati-hati dan menjaga secara total. Masalah ketetapan di antara dua pihak yang bersengketa dipertimbangkan dengan melihat segala hal yang membantu dan keterangan-keterangan yang ada sesuai keadaan dan kondisinya.
19. Bahwasanya kesaksian dua orang wanita itu sebanding dengan satu laki-laki dalam hak-hak duniawi. Adapun dalam perkara-perkara agama seperti periwayatan dan fatwa maka seorang wanita satu derajat (sama dengan) laki-laki. Perbedaan antara dua perkara itu sangatlah jelas sekali.
20. Petunjuk kepada hikmah dibalik perbandingan kesaksian dua wanita dengan satu laki-laki yang mana hal itu dikarenakan kelemahan daya ingat wanita pada umumnya dan kuatnya daya ingat laki-laki.
21. Bahwasanya sekiranya seorang saksi bila melupakan kesaksiannya namun saksi yang lainnya mengingatkannya lalu dia teringat kembali, maka kelupaan itu tidaklah mengapa bila dapat dihindarkan dengan adanya pengingatan tersebut, berdasarkan firman Allah, (أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا اْلأُخْرَى) “Supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya”. Yang lebih baik lagi bila seorang saksi itu lupa kemudian dia bisa mengingat kembali tanpa diingatkan oleh saksi lainnya, karena sesungguhnya kesaksian itu intinya adalah keyakinan dan ilmu.
22. Bahwasanya kesaksian itu harus dengan dasar ilmu dan keyakinan dan bukan keraguan. Maka ketika terjadi keraguan pada seorang saksi dalam kesaksiannya walaupun dengan menurut dugaan terkuatnya, tidaklah halal baginya untuk bersaksi kecuali dengan apa yang ia ketahui dengan yakin.
23. Bahwasanya seorang saksi itu tidak boleh menolak bila diminta untuk bersaksi, baik saksi untuk menguatkan atau untuk menjatuhkan, dan bahwasanya menunaikan kesaksian itu adalah di antara amalan-amalan shalih yang paling utama sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah dan mengabarkan tentang manfaatnya dan berbagai kemaslahatannya.
24. Bahwasanya tidaklah boleh memudharatkan juru tulis dan tidak juga saksi, yaitu dengan dipanggil pada waktu-waktu yang memudharatkan mereka berdua. Dan sebagaimana orang-orang yang memiliki hak dan orang-orang yang saling bermuamalah itu dilarang merugikan para juru tulis maupun para saksi, begitu pula penulis dan saksi tidak boleh merugikan orang-orang yang memiliki hak maupun kedua pihak yang bermuamalah atau salah satu pihak dari keduanya. Dalam hal ini bahwa saksi maupun juru tulis bila terjadi kerugian pada mereka dalam hal penulisan maupun kesaksian, maka kewajiban keduanya gugur.
25. Peringatan bahwasanya orang-orang yang baik yang melakukan kebajikan, tidaklah halal merugikan dan memberatkan mereka dengan suatu hal yang tidak mereka sanggupi. Tidakkah pahala kebajikan itu adalah kebajikan juga? Dan demikian juga atas orang-orang yang melakukan kebajikan, agar menyempurnakan kebaikan mereka dengan tidak merugikan, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan terhadap orang-orang yang menjadi obyek kebaikan mereka, karena sesungguhnya kebajikan itu tidaklah sempurna kecuali dengan sikap tersebut.
26. Bahwasanya tidaklah halal memungut biaya terhadap penulisan dan kesaksian, di mana kedua hal tersebut hukumnya adalah wajib; karena hal itu adalah hak yang telah diwajibkan oleh Allah atas saksi dan juru tulis, dan karena pungutan itu merupakan tindakan merugikan kedua pihak yang bermuamalah.
27. Peringatan terhadap kemaslahatan dan manfaat yang diakibatkan oleh pengamalan akan petunjuk yang mulia ini; bahwa dalam pengamalan tersebut terdapat pemeliharaan hak, keadilan, menghilangkan perselisihan, selamat dari kelupaan dan kebingungan. Karena itu Allah berfirman, (ذلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا); “Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu” dan ini merupakan kemaslahatan yang asasi bagi manusia.
28. Hendaklah diketahui bahwa menulis adalah di antara perkara-perkara agama, karena hal itu merupakan tindakan memelihara agama dan dunia, dan merupakan sebab kebajikan.
29. Bahwasanya barangsiapa yang diistimewakan oleh Allah dengan suatu nikmat dari nikmat-nikmat Allah yang dibutuhkan manusia, maka menjadi kesempurnaan kesyukuran terhadap nikmat itu adalah mengembalikan kenikmatan itu kepada hamba-hamba Allah dan ia memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dengan-nya. Karena Allah menyebutkan sebab dilarangnya seorang juru tulis menolak menjadi juru tulis dengan FirmanNya, (كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ): “Sebagaimana Allah mengajarkannya.” Dan bersama itu barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah memenuhi kebutuhannya.
30. Bahwasanya memudharatkan para juru tulis dan para saksi adalah tindakan kefasikan terhadap manusia, karena kefasikan itu keluar dari ketaatan kepada Allah kepada kemaksiatan kepada-Nya, dan itu bertambah dan berkurang serta bercabang-cabang. Oleh karena itu Allah tidak berfirman “dan kalian adalah orang-orang yang fasik” akan tetapi Dia berfirman,(فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ): “Maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu”. Maka seberapa besar keluarnya seseorang dari ketaatannya kepada Allah sebesar itu pula kefasikan yang ada padanya. Dan dapat diambil sebagai dalil firman Allah, (وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ): “Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu”, bahwa bertakwa kepada Allah merupakan jalan memperoleh ilmu, dan yang lebih jelas dari ayat ini adalah firmanNya ta’ala,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيِغْفِرْ لَكُمْ وَاللهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqan (pembeda antara yang haq dengan yang batil).” (Al-Anfal: 29), yaitu ilmu yang dengannya kalian membedakan antara segala hakikat, kebenaran dan kebatilan.
31. Bahwasanya sebagaimana ilmu yang bermanfaat di antaranya adalah mengajarkan perkara-perkara agama yang berkaitan dengan ibadah, begitu pula mengajarkan perkara-perkara duniawi yang berkaitan dengan muamalah, karena Allah ta’ala memelihara bagi hamba-hambaNya segala perkara agama dan dunia mereka, dan kitabNya yang agung merupakan penjelas segala sesuatu.
32. Disyariatkannya penulisan dokumen berkaitan dengan hak-hak, yaitu penggadaian dan jaminan-jaminan yang dibebankan kepada seseorang untuk memperoleh haknya, baik dia itu pekerja yang baik atau jahat, terpercaya atau pengkhianat. Karena berapa banyak sudah dokumen-dokumen telah memelihara hak dan menghilangkan perselisihan.
33. Bahwasanya menjadi kesempurnaan dokumen dalam penggadaian adalah barang yang menjadi jaminan harus dipegang, sekali pun itu tidaklah berarti bahwa penggadaian itu tidaklah sah kecuali dengan dipegangnya (jaminan), akan, tetapi adanya pembatasan dengan dipegangnya jaminan menunjukkan bahwa terkadang dengan terjadi serah terima terjadilah kepercayaan yang sempurna dan terkadang tidak sampai dipegang, sehingga menjadi kurang.
34. Bahwasanya hendaklah menjadi dalil firman Allah;(283) (فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ) “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)“, yaitu, bahwasanya bila terjadi perselisihan antara pihak penggadai dengan pihak yang memiliki piutang tentang jumlah hutang yang diambil dengan barang jaminan, maka yang diterima perkataannya adalah orang yang memiliki piutang yaitu pemilik hak, karena Allah menjadikan barang jaminan sebagai bukti yang kuat, karena bila tidak diterima perkataannya dalam hal itu, niscaya bukti itu tidak akan ada, karena tidak ada pencatatan dan saksi-saksi.
35. Bahwasanya boleh bermuamalah tanpa ada pencatatan (dokumentasi) maupun saksi-saksi atas dasar firman Allah ta’ala , (فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ): “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Namun dalam kondisi yang seperti ini dibutuhkan sifat ketakwaan dan takut kepada Allah. Karena jika tidak demikian, maka pemilik hak dalam posisi dapat dirugikan dalam haknya. Karena itu dalam kondisi seperti ini Allah memerintahkan orang yang menanggung hak orang lain untuk bertakwa kepada Allah dan menunaikan amnat yang ditanggungnya.
36. Bahwasanya orang yang mempercayai orang yang bermuamalah dengannya, maka sesungguhnya ia telah melakukan kebaikan yang besar terhadapnya dan ia ridha terhadap agamanya dan amanahnya, sehingga orang yang menanggung hak orang lain memiliki kewajiban yang semakin kuat untuk menunaikan amanah itu dari dua sisi; pertama, penunaian hak Allah dan pelaksanaan perintah-perintahNya, dan kedua, pemenuhan hak temannya yang telah meridhai amanahnya dan mempercayai dirinya.
37. Haram menyembunyikan persaksian dan bahwa orang yang melakukan itu hatinya benar-benar telah berdosa yang merupakan raja dari seluruh anggota tubuh. Hal itu dikarenakan menyembunyikan hal tersebut adalah seperti persaksian dengan yang batil dan dusta, yang mengakibatkan hilangnya hak-hak, rusaknya muamalah, dan dosa yang berulang-ulang bagi orang tersebut dan orang yang menanggung hak orang lain tersebut.
Adapun dibatasinya penggadaian dengan bepergian (musafir) padahal hal itu boleh saja dilakukan saat mukim maupun bepergian adalah karena kebutuhan akan hal tersebut dan karena tidak adanya juru tulis maupun saksi. Dan Allah menutup ayat ini dengan menyebut bahwa Dia Maha Mengetahui atas segala apa yang diperbuat oleh para hamba sebagai dorongan bagi mereka untuk bermuamalah yang baik dan peringatan dari muamalah yang buruk.
[Sumber: Tafsir as-Sa’di, oleh syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di]